"Ibu, sebentar aku tinggal, barang bawaanku belum kubereskan, Ibu duduk dulu, ya," ucapnya manja sambil menuntunku untuk duduk di kursi tunggu.
Tak berapa lama terdengar satu suara, dengan cepat membuat dadaku seketika berdebar tak tentu irama. Suara itu masih bisa aku kenali meski sekian lama tak pernah aku dengar lagi.
"Kedasih!"
Kenangan yang telah aku anggap mati kini ia hidup kembali dan perasaan apa ini, sungguh! Aku hanya bisa mematung ketika memandang wajahnya di hadapanku yang tak banyak berubah.
"Hans ...!" Seketika aku berdiri mendapati dia di dekatku kini.
Belumlah sempat aku berdamai dengan perasaan, anak gadisku ternyata telah berada di antara aku dan Hans.
"Ibu, kenalkan ... ini Pak Dirman," ucapnya dengan semringah.
"Apa? Bagaimana, bagaimana ini bisa terjadi?" Ada banyak pertanyaan berdesakan dalam hati semakin tak terkendali yang tak bisa aku ucapkan sama sekali. Dirman, Handoko Sudirman, Hans ....
Aku dan Hans memandang anak gadisku penuh dengan perasaan yang entah. Bagaimana bisa semua ini terjadi, bagaimana aku memulai berkata bahwa sebenarnya ... Hans adalah bapaknya.
Sumedang, 29 Mei 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H