SENJA DI STASIUN
Mendung menggulung tepat pukul lima, dihiasi wajah yang rupa-rupa. Suasana di stasiun mulai kusut, seperti halnya perasaanku yang sedang kalut. Bagaimana tidak, aku memijakkan kaki lagi di sini setelah sekian lama menghindari. Ah ... dua puluh dua tahun yang lalu aku datang ke stasiun ini, membawa kenangan yang telah dibungkus rapi dari semua aneka isi hati. Suasana senja kali ini berhasil merekam segala tanpa sisa, hingga kembali tebersit di pikiran tentang seseorang ketika ada bayang di ujung sana menyerupa.
"Tidak, itu semua telah berlalu," ucapku dalam hati.
Di stasiun kereta bukan lagi masa lalu yang hendak kutuju, sebenarnya tak ingin membuka cerita lama. Hanya saja, kembali ke sini kembali pula luka itu ada.
"Ibu, Ibu ...," teriakan seorang anak gadis memanggilku.
Iya, dia anakku, tiga tahun lalu pergi ke kota menyelesaikan studinya, dan dia pulang dulu karena sebuah rencana. Anak gadisku telah bertemu dambaan hatinya.
"Dia seperti dewa, ibu," ucapnya ketika itu.
Lalu apalagi selain memberinya restu, sebab bahagianya adalah juga bahagiaku. Terpenting anak semata wayangku mencintainya dan sebaliknya, dia pun dicintai. Mahasiswa mendapatkan jodoh seorang Dosen banyak terjadi, apalah dengan perbedaan usia, sungguh aku tak mempermasalahkannya.
Aku peluk anakku dengan penuh sukacita, sedikit tangis bahagia menyadari anak gadisku kini telah tumbuh dewasa. Dia cantik. Andai bapaknya tahu anaknya secantik ini, ah! Aku langsung menepis pikiranku yang sebentar melayang entah ke mana.
"Sayang, di mana dia?" tanyaku yang tak sabar ingin cepat mengenali sosok pria yang sering diceritakannya.
"Eh, iya, dia tadi membeli minuman dulu di situ." Jari telunjuknya mengarah ke suatu tempat dagangan.