Mohon tunggu...
Itha Abimanyu
Itha Abimanyu Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tak Ada Logika

14 Desember 2021   01:43 Diperbarui: 25 Mei 2024   13:31 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

TAK ADA LOGIKA

Brak! Terdengar suara gertakan meja, aku terkejut begitu pun Tio.
Plak! Sebuah tamparan mendarat di pipiku, "Dasar pelacur!" celanya.

Perempuan yang tak lain adalah Yuniar, dengan begitu saja membuat gaduh lantas menghakimiku dengan tuduhannya itu. Tio yang tak menerima perlakuan Yuniar spontan berdiri dan menghampiri Yuniar, menariknya agar lebih jauh dari posisi tempat dudukku. "Apa-apaan kau ini?"

"Aku tahu dia siapa." Yuniar mengarahkan jari telunjuknya ke arahku.

Aku yang kebetulan sedang menggenggam pisau steak berpikir menusukkan pisaunya ke dada atau perut Yuniar. Jantungku berdegup kencang, tangan gemetaran lalu bangkit dari tempat duduk sampai satu, dua, tiga pisau itu menghunjam perut Yuniar. Berkali-kali kembali pisau menikam pada perutnya sampai usus Yuniar berhamburan dan darahnya menciprat ke wajahku.
Tapi kenyataannya aku hanya menelan ludah, mencoba menepis pikiran bodohku dan bergeming.

Belum sempat aku membuka suara, sebuah tangan menarik pergelangan tanganku yang masih menggenggam pisau steak lalu dengan sendirinya pisau itu terjatuh di atas meja.
Tanpa aku ketahui, Revan memperhatikan aku dan Tio dari sudut ruangan. Dia melihat semua yang terjadi antara aku, Tio, dan Yuniar. Melihat aku ditekan oleh Yuniar seperti itu mungkin Revan tak tahan.

"Ayo pergi." Revan menarik tanganku begitu keras.

"Hey, bung. Lepaskan dia." Tio Kemudian menggenggam pergelangan tanganku yang satunya lagi.

Yuniar yang melihat tanganku digenggam oleh Tio berkata, "Mas, lepaskan dia!" Garis rahangnya menegas, menahan amarah.

Aku menepis tangan Tio dan mengikuti Revan dari belakang menuju taman kota. Sesaat langkah kami tertahan,
"Kau ini bodoh sekali, Key. Apa kau pernah berpikir betapa menderitanya kamu selama ini." Revan berkata dengan memasang raut wajah seperti menahan sesuatu. "Kenapa kau harus begitu tega pada dirimu sendiri, kenapa Key?"

"Berhenti bicara omong kosong, apa kau tahu betapa menjijikkannya kau saat ini!" kataku dengan penuh kebencian.

"Lalu apa yang kau dapat? Tio takkan pernah menjadi milikmu, Key. Sadarilah itu."

"Hentikan! Tinggalkan aku sendiri."

Revan menyembunyikan simpul di bibirnya lantas melangkahkan kakinya dari tempat sebelumnya ia memijak, meninggalkanku di balik punggungnya. Beberapa langkah Revan melaju kemudian ia menoleh dan mendapati aku yang masih diam.

"Kau tidak mau pulang?" tanya Revan menyadarkanku dan aku lantas mengikuti Revan.

Belum beberapa langkah aku dan Revan beranjak meninggalkan taman, tatapan kami tertuju pada kedua insan yang tak jauh dari tempat kami berpijak. Tak disangka, Tio dan Yuniar terlihat sangat senang sekali, senyuman manis tidak lepas dari wajahnya Yuniar saat itu. Tio menggandeng tangan Yuniar, sambil terus memperhatikan perempuan yang berstatus istrinya tersebut, aku cemburu melihatnya. Dengan susah payah kukontrol perasaanku mengepalkan kedua tangan, mengumpulkan kekuatan dalam diriku.

"Sebaiknya kita pulang, sadarkan dirimu dulu, kemudian berpikirlah." Revan menarikku pergi dari tempat itu dan kami pun larut dalam pemikiran masing masing.

***

[Berharap padamu begitu besar, ini menyakitkan, tapi hatiku selalu menguatkan. Semoga engkau bahagia, Key!] Pesan sms yang kuterima di ponselku, dari Revan.

Revan ... dua tahun silam, aku dipaksa orang tuaku menikah dengan seorang lelaki yang baik, usia kami terpaut tiga tahun. Yang aku tahu, dia adalah anak yang taat kepada orang tuanya dan sepertinya ia sangat mencintaiku. Tentu saja, karena aku adalah teman masa kecilnya. Begitu dekatnya kami dulu. Revan adalah pria yang baik dan nyaris tanpa cela, sahabat sekaligus suami. Tetapi entah, aku tidak menemukan percik-percik cinta sejak dulu hingga kami menikah. Yang aku mengerti bahwa aku menikah dengannya hanya karena ingin menyenangkan orang tua, tak lebih.
Berbeda ketika bicara tentang Tio, seorang pecinta traveling dan fotografi. Karena memiliki kegemaran yang sama, dari sanalah perasaan cinta dimulai, tak butuh waktu lama untuk saling dekat, kedekatan itu semakin membuat kami ingin tak berjarak.

"Kenapa, sayang?" tanya Tio yang tiba-tiba memelukku dari belakang.

Kubalikan tubuhku hingga berhadapan dengannya, "Apakah kita yakin dengan jalan ini?" tanyaku.

Tio mengecup keningku, kemudian dia menuntunku untuk duduk di kursi teras sambil memandang gerimis.
Beberapa saat dalam keheningan, Tio berkata, "Jika bahagia bisa kita ciptakan, jangan pernah ragu mengambil keputusan, dosa memang. Tetapi, bukankah cinta di atas segalanya sampai logika pun kita lupa."

Aku yang mendengar Tio bicara seperti itu tak bisa membendung lagi aliran sungai di mata, malah ... derasnya melebihi rintik hujan di luar sana. Betapa cinta adalah sebenarnya cinta. Hanya karena deminya, aku rela melakukan apa saja.

"Aku ke kamar dulu," bisikku pada Tio, "Jenuh, mau baca-baca buku."

Aku ke kamar, merapikan sedikit demi sedikit buku-buku lama. Tangan dan pandanganku terhenti setelah aku melihat lembar koran yang tak sengaja terjatuh. Ternyata, lembar koran yang sudah terbit 5 bulan yang lalu, menuliskan tentang, 'KASUS PEMBUNUHAN MISTERIUS DAN BELUM TERKUAK - Seorang Ibu Rumah Tangga berinisial Y ditemukan tewas karena ditusuk dan dijerat seutas tali.'

Sumedang, 14 Desember 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun