TAK ADA LOGIKA
Brak! Terdengar suara gertakan meja, aku terkejut begitu pun Tio.
Plak! Sebuah tamparan mendarat di pipiku, "Dasar pelacur!" celanya.
Perempuan yang tak lain adalah Yuniar, dengan begitu saja membuat gaduh lantas menghakimiku dengan tuduhannya itu. Tio yang tak menerima perlakuan Yuniar spontan berdiri dan menghampiri Yuniar, menariknya agar lebih jauh dari posisi tempat dudukku. "Apa-apaan kau ini?"
"Aku tahu dia siapa." Yuniar mengarahkan jari telunjuknya ke arahku.
Aku yang kebetulan sedang menggenggam pisau steak berpikir menusukkan pisaunya ke dada atau perut Yuniar. Jantungku berdegup kencang, tangan gemetaran lalu bangkit dari tempat duduk sampai satu, dua, tiga pisau itu menghunjam perut Yuniar. Berkali-kali kembali pisau menikam pada perutnya sampai usus Yuniar berhamburan dan darahnya menciprat ke wajahku.
Tapi kenyataannya aku hanya menelan ludah, mencoba menepis pikiran bodohku dan bergeming.
Belum sempat aku membuka suara, sebuah tangan menarik pergelangan tanganku yang masih menggenggam pisau steak lalu dengan sendirinya pisau itu terjatuh di atas meja.
Tanpa aku ketahui, Revan memperhatikan aku dan Tio dari sudut ruangan. Dia melihat semua yang terjadi antara aku, Tio, dan Yuniar. Melihat aku ditekan oleh Yuniar seperti itu mungkin Revan tak tahan.
"Ayo pergi." Revan menarik tanganku begitu keras.
"Hey, bung. Lepaskan dia." Tio Kemudian menggenggam pergelangan tanganku yang satunya lagi.
Yuniar yang melihat tanganku digenggam oleh Tio berkata, "Mas, lepaskan dia!" Garis rahangnya menegas, menahan amarah.
Aku menepis tangan Tio dan mengikuti Revan dari belakang menuju taman kota. Sesaat langkah kami tertahan,
"Kau ini bodoh sekali, Key. Apa kau pernah berpikir betapa menderitanya kamu selama ini." Revan berkata dengan memasang raut wajah seperti menahan sesuatu. "Kenapa kau harus begitu tega pada dirimu sendiri, kenapa Key?"
"Berhenti bicara omong kosong, apa kau tahu betapa menjijikkannya kau saat ini!" kataku dengan penuh kebencian.