Tahun 1938, orang-orang Yahudi secara terbuka diganggu dan hak-haknya dibedakan dari warga Jerman. Ribuan orang Yahudi tidak punya pilihan lain selain meninggalkan rumah dan usaha mereka.Â
Pada malam kristal (Kristallnacht), 10 November 1938, para pengikut Hitler membakar dan menjarah 195 sinagoge dan 8000 toko orang Yahudi. Penghancuran, penjarahan dan pembakaran berlangsung setiap hari. Kerumuman melihat peristiwa tetapi tidak dapat melakukan apa pun demi keselamatan sendiri.Â
Dunia marah tetapi tak ada yang bertindak penengah. Pada masa itu Bonhoeffer menjauh dari Gereja. Ia merasa menjadi orang Kristen tanpa Gereja. Ia mengundurkan diri dari jabatan.Â
Tahun 1939 ia berangkat ke Amerika Serikat untuk mengajar. Baru sebulan ia kembali ke negerinya untuk melawan pemerintahannya yang kejam. Â Â Â Â Â Â
Ia menjadi agen sipil jasa inteligen. Membocorkan rahasia kepada Sekutu. Tahun 1943, ia ditangkap dan dibawa ke Penjara Militer Tegel di Berlin atas tuduhan upaya membunuh Hitler. Di sanalah ia banyak menulis surat kepada murid-murid dan teman terdekatnya. Hari-hari terakhirnya di Buchenwald dan Flossenburg, menegaskan yang dia tulis dalam bukunya, Cost of Discipleship.Â
Kalimat pembuka tulisannya merupakan isi surat Yeremia dalam mendukung moral orang-orang buangan Israel di Kota Babel. Memang tidak ada penjelasan apakah mereka mengalami kesulitan di kota orang asing itu. Namun di sana tidak ada Bait Allah. Mereka harus berjuang agar tetap teguh beriman di tengah-tengah tekanan kebudayaan dan agama Babel. Mazmur 137 menunjukkan syair-syair homesick mereka pada kampung halaman. Â
Mengupayakan kesejahteraan masyarakat seperti kesejahteraan sendiri adalah perwujudan hukum kasih yang diserukan oleh Yesus kepada pengikut-pengikutnya.Â
Apa yang dialami Bonhoeffer adalah salib. Salib yang harus ditanggung sampai mati di atas tiang gantungan.Â
Gereja secara umum menjauhkan diri dari politik karena di antaranya alasan-alasan seperti ini. Tidak bermaksud menyederhanakan situasi, panggilan gereja dianggap berkaitan hanya dengan hidup kekal, ibadah, liturgi, doa-doa. Politik adalah sekuler. Politik dianggap kotor sehingga tak layar gereja berkubang di dalamnya.Â
Bila kekacauan terjadi di masyarakat, gereja mengupayakan gerakan doa yang massif, yang tentu baik, karena frekuensi doa terbukti secara ilmiah dapat meredakan ketegangan di udara, turut andil dalam membuat manusia lebih tenang dan waras.Â
Namun, sikap eksklusif membuat gereja tampak tidak peduli sekitar. Dalam konteks Indonesia, apa arti beriman mengingat pembantaian orang-orang tahun 1965, korupsi, pembodohan, diskriminasi, perebutan ruang-ruang publik oleh sekelompok orang, ujaran kebencian yang massif, dan buka-bukaan yang tak tahu malu? Â Â Â Â Â