Dietrich Bonhoeffer (4 Februari 1906-9 April 1945)Â
Oleh Ita SiregarÂ
Senin dini hari pada 9 April 1945 di kota kecil Flossenburg, Jerman. Seorang laki-laki 39 tahun memberi isyarat kepada petugas untuk menunggu. Lalu ia berlutut, berdoa dengan khusyuk. Setelah itu ia berdiri, melepas pakaian penjara.Â
Seorang perwira membacakan vonis hukuman mati. Bertelanjang dada, laki-laki tadi melangkah tenang ke tiang gantungan, menaiki tangga. Kedua tangannya menarik tali gantungan, memasukkan kepalanya ke sana. Seluruh dirinya telah siap. Perwira memberi perintah kepada algojo di ujung sana untuk memutus tali. Dalam sekejap, satu tubuh tergantung lepas di udara.
Laki-laki itu bernama Dietrich Bonhoeffer. Dia martir di antara 12 juta orang yang dibunuh oleh kekejaman pemerintahan Adolf Hitler.
*
Dietrich kecil menghabiskan masa remajanya di Breslau. Ia bersaudara kembar perempuan, Sabine. Pada 1912 keluarganya pindah ke Berlin. Ayahnya, Karl Bonhoeffer, seorang ahli saraf terkenal. Ia menanamkan disiplin dan kemandirian kepada delapan anaknya, Dietrich anak keenam. Mereka dibesarkan dalam tradisi Lutheran.
Mereka menentang Nazisme dan banyak membantu Yahudi. Semua kakak Dietrich kebanyakan pengacara dan ilmuwan. Ketika ia memutuskan untuk sekolah teologi, keluarga menentang.
Gereja sangat membosankan, ketinggalan zaman, penuh kemunafikan, ujar mereka. Dietrich merespons, kalau begitu aku akan mengubahnya.Â
Tiga tahun ia kuliah di Universitas Tubingen. Pada usia 19 tahun ia menjadi doktor teologi dengan peringkat tertinggi. Khotbah pertamanya di Gereja Stahnsdorfer Berlin, berkata, "Kekristenan berarti keputusan, perubahan, penyangkalan, permusuhan terhadap masa lalu, dan orang-orang kolot."
Pada tahun 1928 ia menjadi pendeta di gereja Barcelona di Spanyol. Jemaatnya kebanyakan diplomat dan pengusaha yang tak tersentuh peristiwa negeri mereka. Sikap kolot jemaatnya membuat Dietrich tak tahan. Hanya setahun, ia pulang ke Jerman. Ia menulis tesis agar dapat menjadi dosen.Â
Pada waktu itu Jerman mencapai klimaks Depresi Besar (Great Depression). Dietrich sadar negerinya dalam masa krisis yang parah. Pada masa bergejolak itu ia menerbitkan dua buku yang menjadi dasar teologinya, The Communion of Saints dan Act and Being. Kedua karya tersebut adalah upaya akademisnya untuk menarik gereja turun dari menara gading rohani, ke masyarakat jalanan.Â
Pada usia 24 tahun ia menjadi dosen Teologi Sistematis di Universitas Berlin. Ia menerima beasiswa dari Union Teological Seminari di New York untuk mengajar di sana.Â
Di Amerika, ia melihat situasi politik di negaranya melalui mata orang asing. Ia melihat ancaman serius Nazi bentukan Hitler. Saat itu mereka meraih hampir 100 kursi di parlemen. Partai kecil Nazi berubah menjadi gerakan nasional. Banyak kawan Bonhoeffer di Jerman bersimpati pada Nazi dan patriotisme yang penuh kebencian. Nazi tak sama seperti komunis Rusia, kata teman-temannya. Mereka mendukung gereja dan ingin memulihkan ketertiban dan wibawa Jerman.Â
Melalui diskusi dengan teman-teman Amerikanya, Bonhoeffer dapat melihat bahwa semua itu tipuan. Seorang teman diskusinya, Franklin Fisher, mengajaknya ke gereja kulit hitam di Harlem. Di sana pertama kalinya Bonhoeffer berpikir dari perspektif orang-orang miskin dan tertindas.Â
Ia melihat di satu restoran, Fisher tidak dilayani karena ia berkulit hitam. Saat itulah ia menyatakan sikapnya terhadap rasisme. Terlalu sering gereja mencari kesenangan dari orang-orang terhormat, bukan turut menderita dengan orang-orang tertindas, ujarnya.Â
"Siapa Yesus tahun 1933 ini? Di mana Dia ditemukan? Di gereja yang tunduk kepada berhala? Tidak. Kalian akan menemukan Dia dalam diri para tawanan, orang yang dianiaya, gelandangan di jalanan," teriaknya.Â
*
Pada waktu itu Adolf Hitler baru ditunjuk sebagai perdana menteri. Nazi menjadi gerakan politik kuat dengan meraih 200 kursi di parlemen. Hitler menjanjikan masa depan gemilang setelah negeri itu bersih dari unsur-unsur asing dan menjadikan bangsa Jerman sejati (Arya) berkuasa.Â
Dua hari setelah Hitler berkuasa, pada Februari 1933, Bonhoeffer dijadwalkan untuk menyiarkan pesan tentang prinsip-prinsip kepemimpinan melalui radio. Secara terbuka ia menentang Hitler.Â
Ia berbicara tentang betapa mudah kaum muda disesatkan oleh "tipuan lama" yang diubah menjadi "berhala". Tentang bahasa bagi sang pemimpin (fuhrer, dalam bahasa Jerman) tergoda untuk menyerah pada keinginan orang-orang yang dipimpinnya, menjadikannya idola (berhala).
Sementara itu, sepanjang masa Republik Jerman, gereja kehilangan dukungan pemerintah. Sekarang Hitler menyambut Gereja. Ia menjanjikan Gereja yang kuat. Banyak pemimpin gereja terpesona gagasan Hitler. Mereka memasang bendera Nazi di tengah ibadah.Â
"Karena Hitlerlah maka Kristus menjadi efektif di tengah kita. Paham Nazi adalah kekristenan yang tengah beraksi," teriak seorang pendeta pro Nazi.Â
"Di puncak kegelapan sejarah gereja, Hitler menjadi kejernihan yang indah. Melalui dia kita mampu melihat Sang Juru Selamat."
"Kristus sudah datang kepada kita melalui Adolf  Hitler!"
Gereja dipenuhi skandal. Dan Bonhoeffer tak dapat membiarkan pernyataan semacam itu berlalu begitu saja. Ia bersama kawannya, Martin Niemoller, memimpin gerakan Kristen bawah tanah yang menentang gereja Nazi Jerman.Â
Pada April 1934, Bonhoeffer berada di London. Ia mengumpulkan 5000 pendeta dan kaum awam, membentuk Gereja Yang Mengaku (Confessing Church). Mereka menggugat gereja bebas alias tak terikat Negara.Â
Bulan berikutnya, Gereja Yang Mengaku menyelenggarakan pertemuan nasional di Wuppertal, Barmen. Peserta menandatangani Deklarasi Barmen. Tujuannya, gagasan Gereja Nazi Jerman bertentangan dengan doktrin iman Kristen.Â
Dua bulan kemudian Presiden Von Hindenburg wafat. Hitler sebagai Perdana Menteri merangkap Presiden. Uskup Nazi Jerman mengusulkan agar semua pendeta bersumpah ketaatan terhadap Sang Fuhrer. Â Â Â Â Â Â
Konflik antara Gereja Nazi Jerman dan Gereja Yang Mengaku memuncak. Aliansi Gereja-Gereja Sedunia mengadakan konferensi di Denmark. Mereka tidak tahu soal perpecahan dua gereja di Jerman. Mereka mengundang Bonhoeffer sebagai pembicara. Kontribusi terakhir Bonhoeffer adalah khotbah pagi yang tak terlupakan tentang perdamaian dunia.Â
Pada musim semi Bonhoeffer berencana ke India untuk bertemu Mahatma Gandhi. Ia tertarik dengan gagasan tindakan tanpa kekerasan. Tetapi sudah terlambat. Nazisme bergerak cepat.Â
Pada musim panas 1935, Gereja yang Mengaku membuka Perguruan Tinggi Pelatihan Gereja di Finkenwalde, utara Jerman. Bonhoeffer melatih dan memperlengkapi 25 murid untuk peperangan spiritual.Â
Tahun 1937, Gestapo membatasi Gereja Yang Mengaku. Sebagian pendeta ditangkap. Murid-murid Finkenwalde diinterogasi dan dianiaya. Bulan September, polisi Hitler menutup seminari itu.Â
Tahun 1938, orang-orang Yahudi secara terbuka diganggu dan hak-haknya dibedakan dari warga Jerman. Ribuan orang Yahudi tidak punya pilihan lain selain meninggalkan rumah dan usaha mereka.Â
Pada malam kristal (Kristallnacht), 10 November 1938, para pengikut Hitler membakar dan menjarah 195 sinagoge dan 8000 toko orang Yahudi. Penghancuran, penjarahan dan pembakaran berlangsung setiap hari. Kerumuman melihat peristiwa tetapi tidak dapat melakukan apa pun demi keselamatan sendiri.Â
Dunia marah tetapi tak ada yang bertindak penengah. Pada masa itu Bonhoeffer menjauh dari Gereja. Ia merasa menjadi orang Kristen tanpa Gereja. Ia mengundurkan diri dari jabatan.Â
Tahun 1939 ia berangkat ke Amerika Serikat untuk mengajar. Baru sebulan ia kembali ke negerinya untuk melawan pemerintahannya yang kejam. Â Â Â Â Â Â
Ia menjadi agen sipil jasa inteligen. Membocorkan rahasia kepada Sekutu. Tahun 1943, ia ditangkap dan dibawa ke Penjara Militer Tegel di Berlin atas tuduhan upaya membunuh Hitler. Di sanalah ia banyak menulis surat kepada murid-murid dan teman terdekatnya. Hari-hari terakhirnya di Buchenwald dan Flossenburg, menegaskan yang dia tulis dalam bukunya, Cost of Discipleship.Â
Kalimat pembuka tulisannya merupakan isi surat Yeremia dalam mendukung moral orang-orang buangan Israel di Kota Babel. Memang tidak ada penjelasan apakah mereka mengalami kesulitan di kota orang asing itu. Namun di sana tidak ada Bait Allah. Mereka harus berjuang agar tetap teguh beriman di tengah-tengah tekanan kebudayaan dan agama Babel. Mazmur 137 menunjukkan syair-syair homesick mereka pada kampung halaman. Â
Mengupayakan kesejahteraan masyarakat seperti kesejahteraan sendiri adalah perwujudan hukum kasih yang diserukan oleh Yesus kepada pengikut-pengikutnya.Â
Apa yang dialami Bonhoeffer adalah salib. Salib yang harus ditanggung sampai mati di atas tiang gantungan.Â
Gereja secara umum menjauhkan diri dari politik karena di antaranya alasan-alasan seperti ini. Tidak bermaksud menyederhanakan situasi, panggilan gereja dianggap berkaitan hanya dengan hidup kekal, ibadah, liturgi, doa-doa. Politik adalah sekuler. Politik dianggap kotor sehingga tak layar gereja berkubang di dalamnya.Â
Bila kekacauan terjadi di masyarakat, gereja mengupayakan gerakan doa yang massif, yang tentu baik, karena frekuensi doa terbukti secara ilmiah dapat meredakan ketegangan di udara, turut andil dalam membuat manusia lebih tenang dan waras.Â
Namun, sikap eksklusif membuat gereja tampak tidak peduli sekitar. Dalam konteks Indonesia, apa arti beriman mengingat pembantaian orang-orang tahun 1965, korupsi, pembodohan, diskriminasi, perebutan ruang-ruang publik oleh sekelompok orang, ujaran kebencian yang massif, dan buka-bukaan yang tak tahu malu? Â Â Â Â Â
Desember 2018Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H