Mohon tunggu...
Ita Siregar
Ita Siregar Mohon Tunggu... Administrasi - Pengarang. Pemetik cerita. Tinggal di Balige.

Merindu langit dan bumi yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

F1 H2O dan Kebahagiaan Orang-Orang Balige

5 Januari 2023   08:38 Diperbarui: 17 Januari 2023   10:43 1460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak sengaja pada satu sore yang hujan kami berlima duduk di kedai kopi. 

Di bulan Desember, cuaca Balige sangat berair. Sore itu pun hujan turun sudah dimulai sejak subuh. Seharusnya dingin. Namun ruang duduk menjadi hangat karena perbincangan kami mengerucut pada isu F1 H2O.

Balige sedang beberes kota. Pasalnya, pada akhir Februari 2023 nanti, di kota akan digelar apa yang disebut-sebut F1 H2O. Ini proyek pemerintah pusat. Dalam rangka menghadirkan tamu mancanegara ke Toba. 

Gelaran ini mirip MotorGP di Sirkuit Mandalika di Lombok, Nusa Tenggara Barat, beberapa waktu lalu. Acara yang mendatangkan pebalap kelas dunia ke Lombok dan mencuatkan nama Mbak Rara, si pawang hujan. Bedanya, di sana balapan di darat, di sini di atas air alias di Danau Toba.

Warga Balige semestinya menyambut gembira kegiatan akbar ini. Memang begitu. Soalnya, sudah pasti kota akan dibanjiri rupiah. Hotel, homestay, restoran, kedai, pasar, tempat wisata akan dipadati tamu. Bahkan, dengan prediksi ribuan orang mendatangi kota selama tiga hari perhelatan, seribuan kamar hotel dan 200-an homestay di Balige, takkan muat menampung arus tamu. 

F1 berlokasi di pinggir Danau Toba. Di lapangan Sisingamangaraja, dekat pelabuhan. Lapangan di-makeup, dikebut pembangunan plaza, tempat mangkal kapal super cepat dan titik kumpul massa. 

Lapangan Sisingamangaraja ini sebelumnya adalah pasar darurat. Darurat dalam arti sebenarnya karena tidak beratap dan berlantai yang selayaknya tempat aktivitas manusia berjual-beli.

Para pedagang direlokasi ke tempat ini karena Pasar Balerong direnovasi. Renovasi yang mangkrak lebih dari setahun itu, rampung karena terpaksa --karena ada F1 H2O, sehingga hasilnya pun seadanya. Wajah pasar tidak lebih baik dari sebelumnya, lapak pedagang sedikit. Entah di mana yang biasa berjualan di sini.

"Masalah tanah belum selesai. Tanah lapangan itu milik marga Napitupulu dan bersertifikat. Bupati bilang itu tanah Negara. Banyak pemilik tanah dan bangunan merasa dirugikan. Tinggal di sana puluhan tahun, harus pindah tanpa kompensasi jelas," ujar kawan yang notaris.

Tentang itu, saya ingat diskusi Sersan Toba di Youtube TobaTV, sebulan lalu. Dalam tayangan bertajuk "Kehadiran F1H2O di Danau Toba, Berkah atau Musibah", Sebastian Hutabarat, aktivis Balige, mengisahkan satu bangunan di areal lapangan Sisingamangaraja. 

Bangunan itu didirikan tahun 1930 dan masih kokoh. Di dalamnya ada kilang minyak yang waktu itu telah lama digunakan oleh perusahaan keluarga -pemilik SPBU Barat- untuk distribusi BBM ke wilayah Samosir dan sekitarnya. "Kami bermaksud memperbaiki bangunan tersebut untuk kemudian diserahkan ke Pemda, sebagai gedung bersejarah dan saksi kejayaan kota di masa lalu. Jadi jangan dibongkar demi kegiatan ini," ujar Sebastian. 

Tentang relokasi pedagang, saya ingat Pak Jokowi ketika masih menjabat Walikota Solo. Ia merelokasi pedagang pasar ke lokasi baru tanpa keributan karena telah puluhan kali berdiskusi dengan para pedagang. Dalam tayangan di Youtube, perwakilan Pemkab mengaku baru lima kali bersosialisasi dengan warga terdampak. Belum rampung.

Teman yang pengusaha ikut mengeluhkan lambatnya respons Pemkab sekarang ini. 

Menyambut keluhan teman pengusaha itu, kawan kami yang adalah pegiat budaya, berbagi pengalaman.

Ia tergabung dalam satu Forum yang terdiri dari para diaspora yang terpanggil membangun Toba. Beberapa waktu lalu Forum melakukan audiensi ke kantor Bupati. Mewakili Forum, seorang warga senior menyampaikan maksud kedatangan untuk membantu kerja PemKab dengan sumbangsih pemikiran dan solusi masalah-masalah sosial. 

Alih-alih mendengarkan ulasan Forum, Bupati meminta asistennya untuk menayangkan rekaman kegiatan Pemkab menyoal F1H2O. "Nanti dululah masalah-masalah sosial itu. Sekarang bagaimana kita dapat menarik para investor mau berinvestasi di Toba untuk meningkatkan ekonomi warga," ujar pegiat budaya menirukan perkataan Bupati saat itu.

Mendengar itu, saya sadar kami yang duduk semeja ini, sedang tidak bahagia. Dan saya bisa ingin menambahkan satu cerita lagi, tentang pekerjaan dinas PU yang membongkar jalan-jalan nomor dua di kota, sejak November lalu. Penggalian sudah selesai namun sisa-sisa galian menyisakan pemandangan tak elok. Jalanan bergelombang hingga menyusahkan pejalan kaki dan pengendara roda dua dan empat. Dan belum nampak akan dibereskan, sampai tulisan ini selesai. 

Menyoal ketidakbahagiaan ini, saya baru saja menonton podcast Endgame teranyar. Kali ini Pak Gita Wirjawan mewawancarai Romo Magnis. Dua intelektual membincang isu-isu mutakhir dunia dalam hal negara dan politik, agama dan nilai-nilai etis, serta masalah-masalah di tanah air. 

Romo Magnis memberi contoh Tiongkok yang berhasil meningkatkan kesejahteraan 700 juta penduduknya. Pak Gita melengkapi dengan mengemukakan tiga hal penting sebelum pencapaian negeri tirai bambu tersebut.

Pertama, pembangunan infrakstruktur selama 30 tahun belakangan. Kedua, pendidikan. Ketiga, meningkatkan daya saing dalam hal memberi izin usaha baru. 

Pada poin kedua, isu favorit tiap kali perbincangan di Endgame, Pak Gita mengatakan soal PISA --satu studi yang dilakukan oleh OECD (Organisasi Kerjasama Ekomoni dan Perkembangan), yang mengukur kinerja skolastik siswa usia 15 tahun dalam hal matematika, sains, membaca.

Ukuran itu bertujuan memberi data bandingan kepada negara-negara yang dievaluasi, untuk meningkatkan kebijakan dan capaian pendidikan. Dari 77 negara, Indonesia berada di posisi nomor 71. 

Romo Magnis melanjutkan dengan memuji kinerja Ji Xinping. Pak Gita melengkapi keberhasilan Presiden Tiongkok dalam memilih para pejabat untuk bekerja di pemerintahannya, dengan penyeleksian talenta berdasarkan meritokrasi, bukan berdasarkan patronase dan loyalitas. 

Dalam kasus Balige, dan mungkin di banyak kabupaten lain di seluruh pelosok negeri, pengangkatan pemimpin atau kepala daerah, pada umumnya tidak dilakukan secara meritokrasi. Rata-rata berdasar pada patronase dan loyalitas. 

Dan menarik, pada akhir diskusi Pak Gita bertanya kepada Romo, apakah Romo merasa bahagia?

Menjawabnya, Romo Magnis meminjam bahagia ala Aristoteles. "Kita hendaknya hidup dengan cara yang membuat kita bahagia. Namun harus diingat, orang tidak menjadi bahagia bila dia berusaha menjadi bahagia. Bahagia akan terbit dengan sendirinya ketika kita melakukan suatu usaha yang bermakna bagi manusia lain."

Jawaban filosofis Romo Magnis apakah juga jawaban kami bila hal sama ditanyakan kepada kami? Apakah kami merasa bahagia? Itu jawaban terbaik. 

is/05/01/23

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun