"Silakan dicicip, Bu Astrid, Pak Mike," kata pejabat itu, mempersilakan.Â
Petugas restoran membantu menyendokkan sup ke mangkuk-mangkuk kami. Aku menjenguk isi mangkuk. Jagung pipil, suwiran ikan sepertinya, kelapa parut, daun kemangi, daun bawang, tomat. Ditaruh terpisah di atas meja, sambal dan jeruk nipis.Â
"Binte bilihuta, Bu Astrid, silakan," kata Pak Pejabat menjelaskan, sebelum aku bertanya.Â
"Hah?" Aku kaget mendengar jawaban itu, berseru, "Itu judul lagu, Pak."Â
Pejabat itu tertawa kecil, "Benar. Itu judul lagu yang menceritakan makanan khas Gorontalo yang namanya binte biluhuta. Terdiri dari jagung manis pipil dengan suwiran ikan tongkol atau cakalang, dimasak dengan beragam bumbu. Silakan, ini hidangan favorit warga di kala santai."Â
"Kalau saya tidak ke Gorontalo, saya tidak pernah tahu bahwa Binte Biluhuta itu nama makanan," kataku.Â
Pak Mike memandangku dengan wajah ingin tahu. Aku menceritakan singkat apa yang barusan kami percakapkan.Â
Pak Mike mengangkat alisnya, "Tak perlu heran, bukan? Negerimu yang terdiri dari ribuan pulau dengan ratusan etnik, risikonya, ratusan makanan khas daerah yang mungkin tidak akan selesai kita cicipi selama hidup," ujar Pak Mike tertawa.Â
Aku menikmati hidangan Binte Biluhuta dengan rasa takjub yang tak habis-habisnya.Â
*
Tanggal 23 Juni 2008. Empat belas tahun lalu aku mencatat di buku harianku: Di hari ulang tahunku yang ke-30, aku baru tahu bahwa Binte Bilihuta itu nama makanan Gorontalo sementara aku sudah menyanyikannya berulang kali tanpa tahu artinya.Â