Aku takjub melihat Pak Mike berhasil menghabiskan semangkuk sup ikan dan dua ekor ikan bakar ukuran besar. Mungkin untuk maksud ini dia melewatkan sarapan dan makan siang, pikirku sambil mengetuk-ngetuk daguku dengan jari telunjuk. Tentu aku senang melihat semangat Pak Mike. Sedikitnya, aku tidak akan mendengar omelan atau keluhannya nanti.Â
Malam baik. Selesai makan kami masih mengobrol di beranda belakang rumah dinas Bupati yang indah  menghadap laut lepas.  Â
Keesokan hari, agenda padat menunggu. Kami bertemu beberapa kepala sekolah, pejabat dinas pendidikan, berkunjung ke sekolah dan calon rumah yang akan ditinggali para tenaga ahli yang akan dikirim ke kota ini. Hari yang produktif.Â
Pekerjaan selesai pukul 5 sore. Diantar ke hotel, Pak Mike memintaku untuk tidak mengganggunya sampai nanti malam kami dijemput makan malam. Aku mau tidur, kata Pak Mike.Â
Sore itu, memanfaatkan waktu luang yang tak lama itu, aku berjalan-jalan di sekitar hotel. Pantai terlihat di ujung mata tetapi akan menghabiskan waktu kalau pergi ke sana. Aku berjalan santai dan melihat penjual-penjual ikan bakar di pinggir jalan. Ikan apa itu, pikirku ingin tahu.
Aku berjalan mendekat ke satu kedai. Seorang laki-laki muda sedang membolak-balok ikan-ikan langsing di atas pembakaran besi. Aku berdiri dalam jarak dua meter, mengawasinya bekerja. Â Â
"Ikan terbang, Kak. Ikan terbang tuing-tuing," kata laki-laki itu dengan senyum di wajah, tanpa kutanya.Â
"Hah, ikan terbang?" tanyaku terkejut. Kepalaku berputar-putar, mengingat-ingat sesuatu yang berkaitan dengan ikan terbang. Hmm...Â
"Logo stasiun tivi, Kak. Hahaha...," tebak laki-laki penjual itu tertawa, seakan membaca pikiranku.Â
"Ah, ya. Indosiar. Memang ikan terbang itu betulan ada, ya?" tanyaku tak percaya.
"Ya, ini buktinya. Kakak duduklah, mau cicip berapa ekor? Lima, sepuluh? Rugi melewatkan ikan tuing-tuing bakar!" tembak penjual itu.Â