Naftali memeriksa kehidupan mayanya. Ada surat dari Beryl Dow, mengingatkan festival yang menjelang. You're going to love it, katanya, lalu dia menulis beberapa nama penulis yang diundang ke festival, sekadar meyakinkan ucapannya. Dan aku masih berutang padamu menyusuri Tegallalang, makan di bawah sinar bulan yang melelehkan lilin, datanglah, tulisnya, menutup surat. Tanpa berpikir Naftali membalas, be there.Â
Beryl. Mata birunya seperti langit. Posturnya yang tinggi membuatnya sulit bersembunyi di kerumunan massa. Paduan sorot mata dan tarikan bibirnya yang tipis bergelombang, mengesankan nakal dan pintar sekaligus. Â Pekerjaan resminya kurator seni.Â
Tugas sehari-harinya menghibur hati-hati yang patah, mengajak siapa saja ke restoran enak untuk mendapat satu-dua informasi. Ubud adalah rumahnya. Naftali adalah cintanya yang baru, sejak di kelas puisi, di festival itu. Â Â Â
Meski sejak perceraiannya dengan ibu putri mereka, si empat belas tahun Sheena, ia berjanji tak akan membuat perempuan merasa ditinggalkan, karena jiwa bebasnya, akan menariknya pergi dan pergi, ke tempat-tempat liar yang jauh dari kemapanan. Meski mengetahui Naftali dengan laki-laki India Tamil itu memberinya duka yang aneh di ulu hatinya. Â Â Â
Mereka berjanji di Bandara Ngurah Rai. Naftali dari Jakarta. Beryl dari Singapura. Ia melakukan kebiasaanya, seperti dulu. Penuh perhatian dan romantis. Mencium kedua pipi Naftali dengan bunyi. Kamu patah hati, Sayang? bisiknya serius. Naftali pura-pura tak mendengar.Â
"Wajahmu tak bisa bohong. Di situ letak persoalannya," kata Beryl, serius.Â
"Tak ada yang lebih menyedihkan dari hubungan yang retak, itu katamu. Jadi, lupakan hubungan asmara, Beryl. Itu hanya menyusahkan kita."
Beryl mengagumi lukisan-lukisan Galeri Gde Kurnia dan makin mencintai perempuan yang ditaksirnya itu, putri pelukis yang berjam-jam berdiskusi dengannya tanpa jeda, sang pemilik galeri. Â
Udara Denpasar hangat dan wangi. Taksi menuju Campuhan, tetapi mereka berhenti di Restoran Wayan Ubud. Beryl memesan sebotol bir besar. Naftali makan besar.Â
"Nafsu makanmu selalu bagus. Jadi, apa kegiatanmu selama ini, Sayang?" tanya Beryl.
"Hmm, Â kamu nggak lapar?"