"Ya, beratku naik enam kilo. Ayah berpikir di perutku yang luka telah tumbuh bayi naga. Hahaha... " ujar Naftali, tawanya berderai.
"Suara kamu agak serak, ya?" tanya Ulinda, menyentuh dagu April, mempelajari lehernya yang mulus.
"Baru selesai flu, kemarin," jawab April, mengiyakan.Â
Setiap orang sedang melanjutkan hidup, memaknai segala sesuatu. Dunia ini sudah sesak dengan komentar, analisis, opini, pertimbangan tiap-tiap penduduknya. Kali ini mereka ingin melupakan segala sesuatu, ingin mengingat segala sesuatu yang lain, yang menyegarkan jiwa.
Hari sesemerbak angin menghembus mawar. Pastri-pastri garing berlemak  menembangkan lagu  bahagia pada perut. Harum kopi membanjiri kamar penciuman. Waktu diam di tempatnya. Udara bersimpang-siur dalam hening. Kata-kata melayang di langit-langit ruang.Â
Ulinda memerikan bahwa bertepuk tangan dua kali itu cara Ezra mengatakan aku marah. Tentang kegiatan barunya sebagai penulis kolom gaya di majalah kaum high-end, April mengalami bahwa untuk menulis satu kalimat yang berbunyi indah dan bermakna dalam memerlukan dua kali sepuluh jam duduk berhadapan dengan layar komputer.Â
Meldiva baru mengagumi dirinya chef yang payah karena perlu tujuh kali latihan untuk memahami nasi kebuli yang gurih legitnya sempurna. Sambil tertawa kecil Naftali menggerak-gerakkan kesepuluh jemarinya yang gemuk, curiga, bahwa sebenarnya berat badannya naik delapan kilo, bukan enam kilo. Â Â Â Â
"Apakah sudah waktunya makan siang?" tanya April, memeriksa jam tangannya.
Mereka tertawa renyah seperti pastri-pastri yang menari-nari dalam mulut mereka. Hati mereka terasa ringan, seringan kapas yang mudah diterbangkan angin ke mana saja, sampai ia mendarat di tanah, di mana saja. Â
*
Campuhan. September 2007.