Aktivitas kriminal judol (judi online) yang semakin mewabah pada masyarakat Indonesia, telah mengusik nurani kita bersama. Membiarkan kriminal jenis judi tersebut serasa sama saja membiarkan saudara dan saudari kita terbutakan melangkah ke jalan yang sesat, sehingga terjerumus ke jurang penderitaan dunia (maupun akhirat kelak). Bukan hanya kerugian moril dan materiil per individu, yang ditebarkan oleh para bandar judi beserta kaki tangannya; namun juga kerugian negara secara finansial dan destruksi mental bangsa secara keseluruhan.
Ada tiga komponen yang harusnya menjadi perhatian kita semua terkait dengan kriminalisasi perjudian daring ini yakni: pemain (pelaku kejahatan judi), uang transaksi, dan solusinya.
Pemain Judol
Jumlah para penjudi secara daring ini telah mencapai hampir 10 juta orang, dan mirisnya diestimasikan masih akan terus bertambah.
Untuk usia penjudi, terdapat sekitar 80.000 anak bawah 10 tahun. Cukup memprihatinkan memang.
Dari kalangan terpelajar, yakni ditengarai terdapat 960.000 siswa-siswi dan mahasiswa-mahsiswi yang terjerat pada adiksi (kecanduan) judol.
Sedangkan untuk pekerja dewasa, yang terperangkap permainan haram untung-untungan ini, mencapai 80%, terdiri dari kalangan menengah ke bawah.
Perputaran Dana
Hingga saat ini, PPATK telah memastikan bahwa perputaran transaksi judi daring di Indonesia menembus angka Rp 283 triliun. (Kompas, 3 Desember 2024)
Sedangkan, uang deposit judol hingga sekarang telah tembus pada besaran Rp 43 triliun.
Peningkatan jumlah pemain dan uang taruhannya, yang sungguh tak diharapkan ini disebabkan antara lain:
1. Modusnya terus berevolusi
Terjadi peningkatan perkembangan judol, akibat kemajuan teknologi dan sistem pembayaran.
Misalnya dulu calon/ para pemain lama judol, harus setor via bank, kini mereka bisa menggunakan QRIS dan pulsa, bahkan transaksi juga dapat dilakukan dalam mata uang kripto serta valas.
2. Bandar judi memecah rekening besar menjadi kecil-kecil
Hal ini memungkinkan pemain dapat bermain di angka kecil, misalnya dengan deposit di bawah Rp 10.000 (sebelumnya besarannya berkisar jutaan rupiah), bahkan kabar yang terkini menyatakan bisa di bawah Rp 500 saja.
Uang transaksi judol semakin mengecil, namun amat masif.
Solusi
Solusi yang tengah diupayakan sekarang memang tidak dapat bersifat instan, melainkan gradual/ bertahap dan berjangka panjang.
Berbagai pihak dan institusi turut berkolaborasi untuk memerangi tindak kriminal judol ini, misalnya:
- Kemkomdigi: menyatakan sudah memblokir lebih 5 juta-an situs judol, menutup situs (website) dan akun media sosial (penyamaran/ tipuan) yang memiliki tautan pada judol
- Bank Indonesia
- PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan)
- OJK: memblokir sekitar 10.000 rekening bank milik pemain dan pengembang aplikasi judol
- Penyedia platform e-wallet
- Pihak perbankan (misalnya BRI dan Bank Neo yang aware masalah ini dan segera melakukan pemblokiran atas rekening-rekening mencurigakan, atau memberikan edukasi)
- Aparat penegak hukum harus terus menelisik beking situs judol, baik yang terlibat adalah warga sipil ataupun aparat di dalam/ internal sendiri
- Satgas lainnya
- Tak boleh ketinggalan, para orang tua juga harus rajin memantau perilaku anak atau anggota keluarga
Semua pihak sudah sewajibnya secara kolaboratif dan edukatif, berkesinambungan, memberantas tindak ilegal judol ini, dalam kebersamaan tekad. Jika perlu, langkah-langkah strategisnya dapat dilaksanakan secara lintas negara.
Daftar singkatan:
Daring: dalam jaringan atau online
Kemkomdigi: Kementerian Komunikasi dan Digital
PPATK: Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
OJK: Otoritas Jasa Keuangan
QRIS: Quick Response Code Indonesian Standar
Valas: valuta asing
Sumber:
Dirangkum dari berbagai media
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H