Besarnya subsidi tersebut dihitung berdasarkan selisih antara HET minyak goreng curah tersebut (Rp 14 ribu per liter) dan harga keekonomiannya (Rp 20.398 atau sering dibulatkan menjadi Rp 24.000 per liter), sehingga kurang lebih nilai bruto dari kompensasi adalah sebesar :
Rp 24.000 -- Rp 14.000 = Rp 10.000/ liter
Estimasi total kebutuhan dana subsidi sejumlah Rp 7,28 triliunÂ
Itikad baik dari pemerintah melalui skema semacam ini tentunya memiliki banyak kendala atau ancaman yang bersifat 'kleptoparasitism'. Istilah ini meminjam dari dunia fauna (hewan), yakni ketika satu makhluk hidup merebut atau mencuri sesuatu/ benda dari pihak makhluk lainnya (klepto), yang tengah bergerak membawa barang tersebut untuk dibawa kepada tujuannya (parasits: menumpang pada sesuatu yang stabil).
Bentuk kleptoparasitism alias penyimpangan yang cenderung dijumpai 'di tengah jalan' ini antara lain:
1. mengolah bahan minyak goreng curah menjadi minyak kemasan
2. menjualnya kembali ke industri besar, maklumlah terpicu disparitas (perbedaan) harga
3. mengekspornya
Penyelewengan yang terpicu oleh disparitas harga tersebut bisa saja terjadi pada distributor jenjang satu (D-1), distributor jenjang dua (D-2), dan seterusnya, karena memang terdapat sekitar 4.000-an distributor minyak goreng di Indonesia.
Mata rantai distribusi yang cukup panjang ini rawan memunculkan banyak rent seeker di sepanjang sistemnya. Karenanya dibutuhkan pengawasan, yang diikuti law-enforcement yang tepat, ketat, dan cepat.
Sudah sewajibnya blunder minyak goreng ini perlu segera diatasi, karena dalam situasi pandemi ini, ketidakpastiannya terbukti telah, sedang, dan akan memukul banyak sektor: rumah tangga, UMKM, industri makanan dan minuman/ mamin, dan sebagainya.Â