Mohon tunggu...
Noverita Hapsari
Noverita Hapsari Mohon Tunggu... Lainnya - Fun and Fine

Seorang Kompasioner

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Menjaga Distribusi Minyak Goreng Curah dari Kleptoparasitism

28 Maret 2022   19:51 Diperbarui: 29 Maret 2022   08:05 637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa puluh tahun yang lalu, pemanfaatan minyak kelapa dari pohon kelapa (Jawa: minyak klenthik) untuk kebutuhan rumah tangga, masih mendominasi. Namun lambat laun mulai ditinggalkan karena masyarakat terbuai dimanjakan oleh minyak goreng berbahan dasar CPO (Crude Palm Oil). Bahkan impor minyak goreng santai saja mengalir lancar akibat pajak impor yang rendah saat itu.

Di dalam negeri sendiri, CPO yang diproduksi dari tandan buah segar kelapa sawit memicu perluasan lahan perkebunan sawit secara besar-besaran (ekstensifikasi). 

Ironisnya, terkait hal pembukaan lahan yang mengabaikan lingkungan (rain forest) ini, tak lekang dalam ingatan kita, pihak negara-negara Eropa melarang impor CPO dari negara Indonesia. 

Parlemen UE mengeluarkan resolusi pelarangan pemakaian biodisel secara bertahap (sebagai sumber energi terbarukan), meskipun negara-negara tersebut sebenarnya masih membutuhkan untuk keberlangsungan sektor industri dan transportasinya. Salah satu cara mereka adalah dengan menetapkan tarif bea masuk 8-18% terhadap biodisel dari Indonesia selama 5 tahun (2019).

Nasib minyak goreng sawit di negara kita tak terelakkan berada di bawah berbagai bayangan kelam. Seperti yang terjadi saat ini kala harga CPO dunia melonjak naik. Maka tirai-tirai 'ketidaknormalan' pun satu demi satu mulai terkuak. 

Lonjakan dan gejolak liar harga minyak goreng ini memaksa Pemerintah untuk mengeluarkan regulasi, yang mayoritas terantuk akibat menghadapi struktur pasar minyak goreng yang ternyata berbentuk oligopoli (hanya beberapa produsen besar saja yang menguasai sebagian besar pangsa pasarnya).

Akibatnya, mereka cukup kuat mendominasi pembentukan harganya (price maker) dan kuantitas pasokannya, mengarah pada praktek kartel ataupun monopolistik.

Pemusatan pasar ini bisa dihitung dengan rumus indeks Herfindahl (Herfindahl Index) sebagai berikut:

Gambar 1. Indeks Herfindahl. Indeks Herfindahl/Sumber: Microeconomics. Brue, Stanley. McGraw Hill. 2015. Edisi ke 20. Halaman 281
Gambar 1. Indeks Herfindahl. Indeks Herfindahl/Sumber: Microeconomics. Brue, Stanley. McGraw Hill. 2015. Edisi ke 20. Halaman 281
Ada sumber yang menyebutkan bahwa ketersediaan (supply) pasar minyak goreng ini terpusat pada empat produsen raksasa.

Skala konsentrasi dan dominasi perusahaan besar mungkin bisa juga diukur melalui kalkulasi Concentration Ratio n-firms (banyaknya perusaan besar/ dominan) sebagai berikut:

Gambar 2. Rasio Konsentrasi (keterpusatan) dari sejumlah 'n' perusahaan (Concentration Ratio n-firms). Concentration Ratio n-FIrms/Sumber: Microeconomics, Brue, halaman 280
Gambar 2. Rasio Konsentrasi (keterpusatan) dari sejumlah 'n' perusahaan (Concentration Ratio n-firms). Concentration Ratio n-FIrms/Sumber: Microeconomics, Brue, halaman 280
Sebenarnya, agak lucu saja barangkali, karena oligopoli itu terbentuknya tidak dalam hitungan waktu singkat, dan juga oligopoli ini tidak dihujat sebelumnya, namun tiba-tiba saja isu tersebutlah yang diusung ke panggung sengkarut.

Berbagai solusinya disodorkan untuk diterapkan sebagai kebijakan baru, dengan beragam skema dan besarannya masing-masing. Di antaranya:

1. DMO/ Domestic Market Obligation (wajib pasok)

2. DPO/ Domestic Price Obligation

3. Pajak Ekspor CPO (dan olein)

4. HET

5. Kebijakan satu harga

6.  Subsidi

7. Mewajibkan untuk diversifikasi produk kepada minyak curah (bukan hanya kemasan)

Regulasi termutakhir dari Pemerintah di dalam upaya meredam distorsi pasar adalah dengan mewajibkan semua pemilik izin usaha produksi minyak goreng -- yakni sebanyak 81 perusahaan - menyediakan produk minyak goreng curah dengan harga Rp 14.000/ liter (HET) untuk masyarakat luas (konsumen akhir).

Jika tidak memenuhi kewajiban ini, maka sanksi pun menanti. Namun bagi yang menjalankan, akan memperoleh ganti atau kompensasi berupa subsidi, yang dapat diklaim kepada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit/ BPDPKS. Dananya berasal dari pungutan ekspor CPO dan turunannya, yang telah mencapai lebih dari Rp 69 triliun di tahun 2021.

Besarnya subsidi tersebut dihitung berdasarkan selisih antara HET minyak goreng curah tersebut (Rp 14 ribu per liter) dan harga keekonomiannya (Rp 20.398 atau sering dibulatkan menjadi Rp 24.000 per liter), sehingga kurang lebih nilai bruto dari kompensasi adalah sebesar :

Rp 24.000 -- Rp 14.000 = Rp 10.000/ liter

Estimasi total kebutuhan dana subsidi sejumlah Rp 7,28 triliun 

Itikad baik dari pemerintah melalui skema semacam ini tentunya memiliki banyak kendala atau ancaman yang bersifat 'kleptoparasitism'. Istilah ini meminjam dari dunia fauna (hewan), yakni ketika satu makhluk hidup merebut atau mencuri sesuatu/ benda dari pihak makhluk lainnya (klepto), yang tengah bergerak membawa barang tersebut untuk dibawa kepada tujuannya (parasits: menumpang pada sesuatu yang stabil).

Bentuk kleptoparasitism alias penyimpangan yang cenderung dijumpai 'di tengah jalan' ini antara lain:

1. mengolah bahan minyak goreng curah menjadi minyak kemasan

2. menjualnya kembali ke industri besar, maklumlah terpicu disparitas (perbedaan) harga

3. mengekspornya

Penyelewengan yang terpicu oleh disparitas harga tersebut bisa saja terjadi pada distributor jenjang satu (D-1), distributor jenjang dua (D-2), dan seterusnya, karena memang terdapat sekitar 4.000-an distributor minyak goreng di Indonesia.

Mata rantai distribusi yang cukup panjang ini rawan memunculkan banyak rent seeker di sepanjang sistemnya. Karenanya dibutuhkan pengawasan, yang diikuti law-enforcement yang tepat, ketat, dan cepat.

Sudah sewajibnya blunder minyak goreng ini perlu segera diatasi, karena dalam situasi pandemi ini, ketidakpastiannya terbukti telah, sedang, dan akan memukul banyak sektor: rumah tangga, UMKM, industri makanan dan minuman/ mamin, dan sebagainya. 

Tata kelola ataupun tata niaga, evaluasi, kalkulasi kebutuhan CPO (untuk biodiesel, minyak goreng, diekspor, atau lainnya) beserta antisipasi kebutuhannya turut ditingkatkan agar distorsi tidak berulang kembali.

Berbagai ikhtiar yang ditempuh oleh pemerintah dapat terus disempurnakan, mungkin dengan berbagai tambahan seperti:

  1. early warning system
  2. buffer stock/ stok pengaman (sulit karena komoditas berwujud likuid?)
  3. resi gudang yang melibatkan swasta (?)
  4. kebijakan lintas departemen/ institusi  (Kementerian Perdagangan, Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, Holding BUMN Pangan (ID Food), Kejaksaan Agung, KPK, Polisi, KPPU/  Komisi Pengawas Persaingan Usaha, asosiasi-asosiasi terkait, dan sebagainya.

P e n u t u p 

Kegagalan dalam stabilisasi harga minyak goreng bisa saja diklasifikasikan sebagai force de majeur (harga CPO dunia yang melonjak di luar kuasa kita) sebagai suatu dalih, tapi barangkali lebih banyak unsur tidaknya.

Sumber: 

1. Referensi: Microeconomics. Brue, Stanley. McGraw Hill. 2015. Edisi ke 20. Halaman 221)

2. Istilah 'kleptoparasitism' dari nationalgeographic.com

3. Data: Dirangkum dari berbagai sumber dan media masa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun