Mohon tunggu...
Noverita Hapsari
Noverita Hapsari Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang Kompasianer

“...aku menulis bisa jadi karena kedukaan-ku, atau ..mungkin juga akibat kesukaan-ku...”

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Menyimak Geger Minyak Goreng

13 Maret 2022   12:03 Diperbarui: 13 Maret 2022   12:07 1209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Relevansinya, ketika harga avtur naik, maka armada penerbangan akan menggantikannya dengan bio avtur, sehingga permintaan terhadap bio avtur atau inovasi energi terbarukan lainnya, akan meningkat.

Namun mengacu kembali kepada grafik sebelumnya (Gambar 1), dinamika transformasi atau peralihan ini, akan sangat terkait dengan dimensi waktu. Ada time-lag antara jangka pendek dan jangka panjang, yang tentunya tidaklah terjadi dalam hitungan bulan saja. 

Tak ayal lagi, proses alih energi ini sangat menuntut banyak kesiapan dan persiapan. Seperti misalnya, dalam hal pendataan dan kalkulasi jumlah produksi komoditas 'bahan bakunya'.

Maklumlah, sebagaimana contoh di sini, komoditas 'substitusi' CPO yang memang digadang-gadang sebagai hal penuh kebaikan, diusung sebagai solusi lingkungan dunia, sehingga demand-nya pun tinggi, banyak peminatnya, baik pada skala lokal, regional, maupun internasional. 

Produksinya tentu harus kontinyu dimonitor dan diestimasi ketersediaannya agar tidak bertabrakan atau konflik dengan permintaan 'aslinya' di dalam negeri (Domestic Market Obligation).

Dengan demikian, CPO harus cukup kuantitasnya untuk kebutuhan pemrosesan derivatifnya, yang jangan dilupakan bahwa salah satunya adalah minyak goreng dalam negeri. 

Sisanya baru disuplai untuk keperluan derivatif lainnya, yakni sebagai sumber energi terbarukan, baik untuk skala regional maupun internasional. Dengan kata lain: diekspor.

Namun, kala dilema berupa disparitas harga atau pun privilege lainnya, menyelip di tengah kedua pilihan di atas (minyak goreng atau sumber energi terbarukan), maka persoalan akan menjadi lebih pelik.

      Pertanyaan perihal ke(tidak)berpihakan pun timbul, seperti:

  1. Untuk produsen CPO, apakah pasarnya perlu diintervensi?
  2. Untuk konsumen CPO (khususnya minyak goreng), apakah masyarakat terus dihimbau untuk mengurangi olahan gorengannya (mengolah masakannya diganti dengan mengukus/ tim, merebus, memasak dengan santan, air-fryer, dan sebagainya)?
  3. Untuk regulator, quo vadis ?

Good luck. Selamat menjalankan tugas masing-masing.

Keterangan: 

  1. Referensi: Pindyck, R.S., Rubinfeld, D.L. (2013). Microeconomics (page 536-7). Pearson.
  2. Penulis menyederhanakan pemaknaan komoditas jet fuel sebagai avtur.
  3. Avtur (Aviation Turbine) merupakan hasil olahan minyak bumi (juga elpiji, solar, bensin, minyak tanah, dan sebagainya).
  4. Sumber untuk Gambar 2 : https://www.researchgate.net/figure/Graph-for-cross-elasticity-of-demand-Image-credit-tutor2u_fig5_284209643

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun