I. Dari Avtur Ke Bio Avtur (berbasis Crude Palm Oil/ CPO)
Ada pemaparan menarik dalam sebuah buku referensi mengenai permintaan akan avtur (The demand for jet fuel). Di situ dipaparkan bahwa kurva permintaan avtur sebagai bahan bakar pesawat dalam industri penerbangan, logikanya, bersifat inelastis. Artinya, kenaikan harga avtur hanya akan mengakibatkan pengurangan permintaan avtur dalam jumlah yang sedikit saja.
Alih-alih mengurangi pembelanjaan avtur dalam jumlah yang besar, pihak airlines lebih memilih beragam strategi demi efisiensi, misalnya berinvestasi (membeli) pesawat yang lebih irit bahan bakar, menjadwal ulang rute, mengurangi beban muatan, dan sebagainya.
Ciri khas dari kurva demand yang inelastis ini adalah bentuk grafiknya cenderung berbentuk tegak lurus, slopenya curam. Hal ini terkait dengan karakter dari jenis barangnya yakni susah dicari substitusi atau penggantinya, penggunaan barangnya tetap/ relatif stabil, dan merupakan kebutuhan dasar. Ciri-ciri tersebut cocok dengan komoditas bernama avtur, bagi industri penerbangan.
Dalam text book di atas, bahkan disebutkan bahwa avtur/ bahan bakar menjadi pengeluaran terbesar kedua, setelah gaji dan insentif sumber daya manusianya/ SDM). Elastisitas kurva permintaan akan avtur di Amerika Serikat misalnya, berkisar -0,6 hingga -0,15 .
Itu pada awalnya. Namun sejalan dengan kemajuan sains dan teknologi, serta sekaligus dipicu oleh kekhawatiran akan global warming, maka tak ketinggalan, semakin terbukalah wacana pemanfaatan green energy pada industri tersebut.
Energi yang terbarukan ini akan membuat banyak industri - termasuk penerbangan - tidak tergantung lagi pada sumber fosil (tak terbarukan). Contohnya adalah bio avtur, yang dihasilkan dari pemrosesan CPO, walau beberapa aspeknya mungkin masih dalam taraf pengujian.
Konsekwensinya, kurva permintaan avtur di masa depan (long-run demand curve) akan menjadi jauh lebih elastis, karena ada substitusinya yakni bio avtur.
Gambar 1. Permintaan jangka pendek dan jangka panjang dari Jet Fuel (e.g. Avtur)
Keterangan:
MRP SR: MRP yang dianalogikan dengan kurva permintaan avtur pada jangka pendek
MRP LR: MRP yang dianalogikan dengan kurva permintaan avtur untuk jangka panjangnya
Dari ilustrasi di atas tampak bahwa kurva permintaan jangka panjang akan memiliki slope/ kemiringan yang semakin lebih landai dari kurva permintaan jangka pendeknya, yang menandakan elastisitasnya bertambah.
Artinya, di masa depan kenaikan harga avtur akan berdampak pada penurunan permintaan (pembelian) avtur oleh maskapai-maskapai penerbangan dengan magnitude yang lebih signifikan jumlahnya, dibandingkan dengan respon sebelumnya (short run).
Pengurangan permintaan yang cukup besar tersebut, merupakan implikasi adanya opsi lain untuk bahan bakar selain avtur fossil. Berbagai armada penerbangan dengan teknologi aviasi yang moderen akan lebih konfiden untuk berpindah pada penggunaan bahan bakar substitusi yang berkelanjutan (contoh, bio avtur) untuk jangka panjangnya (long-run).
II. Dari CPO Ke Minyak Goreng
Gambar 2. Elastisitas barang substitusi (Hubungan antara dua barang yang bersifat substitusi satu sama lainnya)
Keterangan:
Komoditas A: Bio Avtur
Komoditas B: Avtur
Ilustrasi di atas dapat diinterpretasikan sebagai berikut. Perubahan harga sebuah barang akan mengakibatkan perubahan jumlah permintaan barang substitusinya, dengan arah bersamaan.
Relevansinya, ketika harga avtur naik, maka armada penerbangan akan menggantikannya dengan bio avtur, sehingga permintaan terhadap bio avtur atau inovasi energi terbarukan lainnya, akan meningkat.
Namun mengacu kembali kepada grafik sebelumnya (Gambar 1), dinamika transformasi atau peralihan ini, akan sangat terkait dengan dimensi waktu. Ada time-lag antara jangka pendek dan jangka panjang, yang tentunya tidaklah terjadi dalam hitungan bulan saja.
Tak ayal lagi, proses alih energi ini sangat menuntut banyak kesiapan dan persiapan. Seperti misalnya, dalam hal pendataan dan kalkulasi jumlah produksi komoditas 'bahan bakunya'.
Maklumlah, sebagaimana contoh di sini, komoditas 'substitusi' CPO yang memang digadang-gadang sebagai hal penuh kebaikan, diusung sebagai solusi lingkungan dunia, sehingga demand-nya pun tinggi, banyak peminatnya, baik pada skala lokal, regional, maupun internasional.
Produksinya tentu harus kontinyu dimonitor dan diestimasi ketersediaannya agar tidak bertabrakan atau konflik dengan permintaan 'aslinya' di dalam negeri (Domestic Market Obligation).
Dengan demikian, CPO harus cukup kuantitasnya untuk kebutuhan pemrosesan derivatifnya, yang jangan dilupakan bahwa salah satunya adalah minyak goreng dalam negeri.
Sisanya baru disuplai untuk keperluan derivatif lainnya, yakni sebagai sumber energi terbarukan, baik untuk skala regional maupun internasional. Dengan kata lain: diekspor.
Namun, kala dilema berupa disparitas harga atau pun privilege lainnya, menyelip di tengah kedua pilihan di atas (minyak goreng atau sumber energi terbarukan), maka persoalan akan menjadi lebih pelik.
Pertanyaan perihal ke(tidak)berpihakan pun timbul, seperti:
- Untuk produsen CPO, apakah pasarnya perlu diintervensi?
- Untuk konsumen CPO (khususnya minyak goreng), apakah masyarakat terus dihimbau untuk mengurangi olahan gorengannya (mengolah masakannya diganti dengan mengukus/ tim, merebus, memasak dengan santan, air-fryer, dan sebagainya)?
- Untuk regulator, quo vadis ?
Good luck. Selamat menjalankan tugas masing-masing.
Keterangan:
- Referensi: Pindyck, R.S., Rubinfeld, D.L. (2013). Microeconomics (page 536-7). Pearson.
- Penulis menyederhanakan pemaknaan komoditas jet fuel sebagai avtur.
- Avtur (Aviation Turbine) merupakan hasil olahan minyak bumi (juga elpiji, solar, bensin, minyak tanah, dan sebagainya).
- Sumber untuk Gambar 2 : https://www.researchgate.net/figure/Graph-for-cross-elasticity-of-demand-Image-credit-tutor2u_fig5_284209643
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H