Tak ada lagi waktu untuk bertanya, semua disibukkan dengan usaha evakuasi, memindahkan mereka yang terluka ke tempat yang lebih aman, ketempat-ketempat kosong di bangunan sebelah tendanya, yang telah ditinggalkan penghuninya. Debu mesiu dan debu karena terbawa angin gurun bercampur aduk, menyesakkan semuanya. Bukan hanya pada korban, termasuk juga pada Arman. Kemana Makhmoud? Mengapa dia tak terlihat, apakah dia termasuk dalam korban. Sebuah pertanyaan, yang tak mampu dijawab oleh Armand. Sekuat mungkin dia menepis segala kemungkinan, yang mengalir bersama pertanyaan liarnya. Akh, tak mungkin semua itu. Makhmoud mungkin sibuk dengan evakuasi ditempat lain, demikian sanggah hatinya, untuk menepis pemikiran terburuk yang sempat singgah tadi.
Hanya dengan sebotol air dan beberapa buah kurma, Armand masih sempat sahur diantara hilir mudik korban yang dievakuasi. Berbagai infus, operasi kecil mengangkat sisa pecahan mesiu dari tubuh korban, telah puluhan sepagi ini dilakukan oleh Armand. Sementara Makhmoud dan Reem Salih tidak juga terlihat batang hidungnya, kemana mereka?
*****
Jam baru menunjukkan pukul sepuluh pagi, ketika Armand baru keluar dari ruang operasi daruratnya. Letih yang tak tergambarkan dengan kata-kata, melihat kondisi korban dan operasi yang dilakukan sejak pukul setengah empat tadi, telah benar-benar menyita sisa energy yang ada pada Armand. Belum sepenuhnya, tubuh Armand melewati pintu ruang operasi itu, ketika dia melihat Makhmoud. Berdiri kaku dengan mata sayu, ada apa ini.
"Ada apa Moud? Kenapa berdiri kaku begitu?" Tanya Armand, tak tahu apa yang terjadi pada sahabatnya itu.
"Maafkan saya dok, saya telah lancang mengambil tindakan sendiri" kata Makhmoud pula, kini Makhmoud sudah duduk di kursi, sebelah Armand.
"Maksudnya Moud?"
"Reem Salih telah mendahului kita, dok. Akibat Bom jam tiga tadi pagi, saya dan dokter Tini, mengevakuasinya. Kini jenazahnya telah ditunggui kedua orang tuanya". Kata Makhmoud lagi, suaranya pelan, tapi itu cukup membuat Armand terguncang hebat. Dunia seakan berhenti untuk Armand. Tapi heran, mengapa tak ada air mata yang keluar. Apa karena dia sudah kebal dengan suasana kematian di Gaza ini. Tempat dimana batas hidup dan mati begitu dekat, begitu tipis, bahkan lebih tipis dari kulit bawang.
"Dimana jenazahnya, sekarang Moud?"
"Di gedung seberang itu. Dokter Tini sudah berusaha sekuat tenaga, tapi ketentuan Allah berkata lain dok"
"Ayo kita kesana" Armand langsung berdiri, dibelakangnya, berjalan Makhmoud mengikuti langkah Armand. Menuju pada gedung yang dimaksud. Tiba di gedung itu, dokter Tini, masih di kamar operasi, Jenazah Reem Salih masih disitu, tertutupi sehelai kain. Tini membuka kain, terlihat wajah Reem Salih dengan senyumnya, senyum yang menggambarkan paduan kepasrahan dan kemenangan. Senyum yang akan terus dibawa Armand menyusuri hari-hari panjangnya setelah kepergian Reem Salih. Tak mungkin dia meratapi dan memeluk Reem Salih. Disitu ada calon mertuanya, diruangan itu banyak orang lain, banyak relawan. Pada dokter Tini, Armand hanya memberikan sebuah cincin, memintanya untuk mengenakannya pada jenazah Reem Salih, karena cincin yang baru dibelinya dua hari lalu itu, belum sempat dikenakannya pada Reem Salih, ketika Reem Salih masih hidup.