Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Manusia Tak Jelas Identitas

10 Juni 2020   06:08 Diperbarui: 10 Juni 2020   06:11 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
blackswanfarming.com

Bermula ketika akan selesai sekolah lanjutan pertama. Saya yang memiliki nilai akademis memuaskan. Oleh kepala sekolah dianjurkan untuk masuk SMA. Dengan asumsi bahwa mau kemana akan dilanjutkan kelak, nanti saja setelah tamat SMA.

Namun, orang tua tidak setuju. Lebih rasional jika, saya masuk sekolah kejuruan. Singkat cerita, saya masuk STM jurusan mesin. Terletak di tengah kota Bandung. Di bawah yayasan yang berafiliasi ke Kodam III Siliwangi.

Setiap hari sabtu, kami di suruh buka baju, berkumpul di halaman sekolah. Lalu, mulailah katak 1 dan seterusnya di mainkan. Jurus dasar karate. Tujuannya. Mungkin, kami sebagai anak-anak siliwangi, tidak hanya memiliki jiwa yang tangguh. Namun, fisik juga, harus tangguh.

Namun, saya punya pendapat berbeda. Kegiatan ini, apa tujuannya? Melahirkan lelaki tangguh atau sebagai persiapan kelak, jika gagal dalam hidup, punya alternative lain, menjadi preman tangguh.

Singkat kata, ketidak puasan jiwa itu. Menyebabkan keinginan untuk masuk SMA semakin tidak mungkin ditahan. Tetapi, untuk pindah ke SMA saya tidak berani melawam keputusan yang sudah diputuskan Bapak.

Akhirnya, saya tetap sekolah di STM pagi hari dan siang harinya. Saya sekolah di SMA. Sebagai pengejewantahan bentuk kompromi antara keinginan diri sendiri dan menghormati keputusan Bapak. Pagi hari, ketika berangkat sekolah lampu jalanan masih menyala, sebagai sisa waktu semalam sebelum dipadamkan. Dan ketika pulang, lampu jalan sudah menyala, sebagai pertanda menyambut malam yang segera akan datang sebentar lagi.

Soal nilai akademis, jangan ditanya. Pada dua sekolah itu, nilai saya termasuk pada ranking tiga besar, khusus nilai eksakt, rankingnya selalu nomer satu.

Di sela waktu padat yang tak masuk akal itu. Saya masih sempat membaca novel-novel berat seperti Papillon, Marks Twain, di Bawah Bendera Revolusi dlsbnya.

Diakhir perjalanan masa SLTA saya diterima di sebuah fakultas tekhnik, yang jurusan arsitekturnya, konon, lebih memiliki nilai lebih dibandingkan dengan ITB, juga di sebuah perguruan tinggi di Jakarta.

Dengan pertimbangan pola pikir kekanakan, saya memilih Jakarta.

Di Jakarta, setelah dua semester, kembali saya diterima di Universitas Negri yang beralamat di Rawamangun. Sejarah kisah ketika di SLTA, seakan berulang kembali. Jika saja tidak, malam itu, datang seorang kepala sekolah untuk meminta saya mengajar di sekolahnya untuk mata pelajaran Fisika.

Di sela-sela kegiatan yang bejibun itu, saya masih sempat mengkoleksi karya Imam Ghazali. Ikhya Ulumuddin. Bukan hanya satu jilid. Namun, komplet 12 Jilid. Fi dzilali Qu'an nya Sayid Qutb, karya-karya Ali Syariati, Al Banna dll.

Saya tidak bisa lagi mendefinisikan diri saya, apakah orang tekhnik, orang agama, orang social atau budayawan. Karena saya juga ikut duduk dengan khusuq mengikuti kuliah filsafat di Driyarkara, di jembatan serong Rawasari, yang materi filsafatnya diberikan oleh Romo Muji Sutrisno dan Romo Magnis Suseno.

Sementara itu, bacaan yang dikoleksi dan memenuhi memori kepala saya, semakin nano-nano dan baragam-ragam.

Tulisan saya, yang saya tulis dengan mesin tik tua dengan system sebelas jari, juga sudah mulai dimuat di harian Ibu Kota. Ada gembira dan kebanggan tersendiri dengan capaian itu. Beberapa tulisan itu, saya copy dan tempelkan di majalah dinding kampus.

Akhirnya, saya kehilangan control dan arah. Semua ingin saya raih dalam waktu yang bersamaan. Akibatnya, diluar dugaan. Saya terpaksa meninggalkan kampus dan mulai pengembaraan yang tidak jelas dan tentu lagi.

Seorang teman, yang mengenal saya dengan baik. Mengatakan, bahwa saya, manusia tidak jelas. Dengan kemampuan menguasai enam bahasa daerah. Dia, kadang ragu dengan asal daerah "orang tua" saya.

Karena, saya akan segera berbicara dengan bahasa daerah, sesuai lawan bicara saya.

Suatu ketika, saya juga tersesat di daerah Sumatera Utara. Di situ, saya mengajar empat mata pelajaran eksakt sekaligus, Dengan jumlah jam pelajaran yang tidak cukup saya penuhi ketika siang hari saja. Konsekwensinya, setelah sholat Isha, kekurangan jam itu, saya isi. Bukan sebagai jam tambahan. Melainkan, jam yang tidak terpenuhi ketika siang hari.

Dalam kondisi yang mepet itu, saya masih sempat menulis untuk sebuah harian di kota Medan. Bukan sekedar menulis. Namun, diberikan fasilitas, sekaligus menjadi penjaga gawang. Jadilah setiap Jum'at tulisan saya muncul di mimbar Agama dan setiap rabu muncul di rubrik Budaya.

Begitulah perjalanan hidup itu berjalan dan mengalir begitu saja. Tak ada ambisi menjadi sesuatu dan mengkoleksi sesuatu.

Pertanyaan sekarang, apakah saya termasuk mereka yang disebut manusia pintar atau ahli? Ternyata, jawabnya diluar dugaan para sahabat. Saya masuk pada golongan mereka yang tidak bisa apa-apa.

Kok bisa? Tentu saja bisa. Karena untuk dunia real. Adagiumnya, seseorang yang bisa segala, artinya tidak bisa segala-galanya.

Kini, di usia enam puluh tahun. Saya memang merasa tidak bisa apa-apa. Bahkan, yang katanya saya memiliki kemampuan komunikasi "lebih" dari yang lain. Ternyata, saya memperoleh teguran keras, dari tempat kerja saya, sebagai duta yang gagal berkomunikasi dengan kolega perusahaan, yang saya wakili.

Tidak ada yang tidak mungkin dalam kehidupan ini. Semuanya serba mungkin, semua serba berubah. Karena sesungguhnya, yang abadi adalah perubahan itu sendiri.

Dan yang terjadi pada saya. Mungkin saja, saya termasuk pada individu yang tidak ligat untuk mengikuti perubahan.

.

Wallahu A'laam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun