Di sela-sela kegiatan yang bejibun itu, saya masih sempat mengkoleksi karya Imam Ghazali. Ikhya Ulumuddin. Bukan hanya satu jilid. Namun, komplet 12 Jilid. Fi dzilali Qu'an nya Sayid Qutb, karya-karya Ali Syariati, Al Banna dll.
Saya tidak bisa lagi mendefinisikan diri saya, apakah orang tekhnik, orang agama, orang social atau budayawan. Karena saya juga ikut duduk dengan khusuq mengikuti kuliah filsafat di Driyarkara, di jembatan serong Rawasari, yang materi filsafatnya diberikan oleh Romo Muji Sutrisno dan Romo Magnis Suseno.
Sementara itu, bacaan yang dikoleksi dan memenuhi memori kepala saya, semakin nano-nano dan baragam-ragam.
Tulisan saya, yang saya tulis dengan mesin tik tua dengan system sebelas jari, juga sudah mulai dimuat di harian Ibu Kota. Ada gembira dan kebanggan tersendiri dengan capaian itu. Beberapa tulisan itu, saya copy dan tempelkan di majalah dinding kampus.
Akhirnya, saya kehilangan control dan arah. Semua ingin saya raih dalam waktu yang bersamaan. Akibatnya, diluar dugaan. Saya terpaksa meninggalkan kampus dan mulai pengembaraan yang tidak jelas dan tentu lagi.
Seorang teman, yang mengenal saya dengan baik. Mengatakan, bahwa saya, manusia tidak jelas. Dengan kemampuan menguasai enam bahasa daerah. Dia, kadang ragu dengan asal daerah "orang tua" saya.
Karena, saya akan segera berbicara dengan bahasa daerah, sesuai lawan bicara saya.
Suatu ketika, saya juga tersesat di daerah Sumatera Utara. Di situ, saya mengajar empat mata pelajaran eksakt sekaligus, Dengan jumlah jam pelajaran yang tidak cukup saya penuhi ketika siang hari saja. Konsekwensinya, setelah sholat Isha, kekurangan jam itu, saya isi. Bukan sebagai jam tambahan. Melainkan, jam yang tidak terpenuhi ketika siang hari.
Dalam kondisi yang mepet itu, saya masih sempat menulis untuk sebuah harian di kota Medan. Bukan sekedar menulis. Namun, diberikan fasilitas, sekaligus menjadi penjaga gawang. Jadilah setiap Jum'at tulisan saya muncul di mimbar Agama dan setiap rabu muncul di rubrik Budaya.
Begitulah perjalanan hidup itu berjalan dan mengalir begitu saja. Tak ada ambisi menjadi sesuatu dan mengkoleksi sesuatu.
Pertanyaan sekarang, apakah saya termasuk mereka yang disebut manusia pintar atau ahli? Ternyata, jawabnya diluar dugaan para sahabat. Saya masuk pada golongan mereka yang tidak bisa apa-apa.