*****
20 November
Tiba-tiba cuaca berubah sangat cepat. Cahaya bulan tertutup awan pekat, tampak kehitaman yang pekat diantara cahaya rembulan yang sempat terlihat Bae. Laut yang awalnya tenang setenang riak tepian kini berubah ganas.
Ombak setinggi empat meter datang menerjang Bae dan Bayu. Mereka berdua terbawa pada puncak gelombang, lalu dengan kecepatan tinggi meluncur ke bawah. Bayu memegang erat sepotong kayu yang mereka miliki, bagai seorang bayi memegang tubuh sang Bunda, mendekap sekuat yang mampu dia lakukan. Tidak mau berpisah walau satu sentipun. Ini bukan lagi soal kasih dan sayang. Tetapi, soal nyawa. Melepaskan pegangan pada sepotong kayu, sama halnya melepaskan seutas parasut ketika kita terbang dari ketinggian lima ratus meter. Lepas pegangan sama dengan lepas nyawa, mati.
Bae menggigil hebat menghadapi situasi ini. Dia tidak kedinginan, disebabkan air laut. Tetapi, Bae sedang berperang dengan dirinya sendiri. Inilah, saat penentuan itu. Mereka hanya berdua, ditengah laut bebas. Ditengah badai gelombang ganasnya ombak lautan. Bahkan di malam gelap gulita. Tidak seorangpun yang menyaksikan apa yang terjadi. Â
Inilah, saatnya dia mengambil sepotong kayu itu. Tokh, itu kayu yang dia miliki sendiri, sebelum dia menolong Bayu. Kayu yang akan menolong nyawa Bae, sekaligus melenyapkan sang pesaing. Tidak ada yang salah dalam tindakannya. Kayu miliknya, tidak yang dia rebut dari Bayu, Bayu yang malang, yang akan melenyapkan dirinya menjadi bagian dari lautan yang tidak bertepi ini. Juga akan membuka kemungkinan Bae akan berjodoh dengan Muti. Mutiara kecilnya yang nyaris disambar Bayu. Kini, sang Elang itu, nyawanya berada di tangan Bae.
Kembali ombak besar datang, mereka berdua terbawa ke puncak gelombang  setinggi enam meter, lalu dengan kecepatan tinggi, terhempas pada dasar gelombang. Ketinggian hempasan ke bawah itu, setinggi dua kali ketika naik, itu artinya dua belas meter, setara dengan ketinggian gedung empat lantai. Bayangkan! Meluncur cepat dari gedung ketinggian empat lantai, hanya bergantung pada sepotong kayu.
Nyaris, Bae menarik kayu yang sepotong  itu. Lalu, sedetik kemudian, Bayu akan gelapan di tengah ganasnya ombak. Kemudian, hilang. Bersatu dengan alam, terkubur dilautan yang tidak bertepi.
Namun, seketika muncul wajah Haji Rauf, wajah Bapak, Wajah Emak dan wajah sang kekasih, Mutiara. Satu-satu mereka muncul, satu-satu mereka menatap wajah Bae, tatapan mereka, tatapan tajam yang mengatakan, kaulah sang pembunuh itu. Kau lah yang menggagalkan acara pernikahan lusa. Anak yang tidak tahu membalas budi dan kekasih yang berhati kejam, begitu yang terbaca Bae pada tatapan Muti.
Tidak tersedia cukup waktu. Jika mereka berdua tetap berpegangan pada kayu yang sepotong itu. Maka, mereka hanya akan tenggelam berdua. Kini, pilihan hanya dua. Kau atau aku. Bae atau Bayu.
Perlahan, Bae melepaskan pegangannya. Biarlah aku yang mengalah, bathin Bae. Demi haji Rauf, demi Bapak, demi Emak dan yang terakhir, demi kau yang terkasih, Muti.