Malam itu, di kamar mereka, Arman ditunggui anaknya, telah seminggu lebih dia kembali terserang sakit. Sakit yang tak sepenuhnya dia ketahui apa. Seluruh badan terasa lemah, ada sesuatu yang menyesak di dalam dadanya, kaki dan seluruh persendian ini, terasa lemah. Tanpa daya, tanpa tenaga.
Setelah seminggu berlalu, setelah kehadiran suciyati, kehadiran yang telah menyerap semua sisa tenaga yang Arman miliki, kehangatan suasana yang tadinya selalu mewarnai rumah Arman bersama putri semata wayangnya, lestari.
Lestari yang yang dia maksudkan sebagai keabadian, bukti cintanya yang lahir dari pernikahan dengan Suciyati. Suci yang melahirkan keabadian bagi cintanya. Namun, apa yang direncanakan, tak selalu sama dengan apa yang terjadi.
Lestari terlahir tak sempurna. Tak mewakili harapan Armand dan Suci. Namun, ada beda sikap yang nyata dalam menghadapi kenyataan ini. Ketidak sempurnaan Lestari menimbulkan rasa sayang dan Iba pada Arman. Ada tugas baru yang dia emban pada kondisi Lestari, kalau bukan Arman yang lebih menyayangi dan mencintainya, lalu siapa lagi? Tak mungkin mengharapkan orang lain.
Berbeda halnya dengan Suci, kehadiran Lestari membuat aib padanya. Suci merasa malu dengan kondisi fisik Lestari. Lestari seakan menghambat laju pergaulannya, seiring dengan karier yang mulai meroket di tempat kerja Arman.
Bagaimana Suci akan menjawab pertanyaan-pertanyaan teman sosialitanya, ketika mereka mengetahui kondisi Lestari? Apa yang salah pada gen yang terkandung pada Arman atau pada Suci. Pertanyaan yang sulit dijawab, semua teman suci tahu, jika Arman seorang pria yang sempurna dalam penampilan fisik, datang dari keluarga medis yang sudah teruji kesehatan mereka. Lalu, kecenderungan itu, akan mengarah pada Suci.
*****
Awalnya, suci sering pulang terlambat, memang ada pembantu yang merawat Lestari. Namun, Arman selalu mengkhawatirkan perkembangan Lestari. Berharap pada Suci, rasanya terlalu riskan. Terlihat jelas, Suci tak  menghendaki kehadiran Lestari.
Arman lebih memilih merawat Lestari daripada mengejar karier. Untuk apa karier, jika Lestari hanya berteman sepi di rumah. Kemana perginya Suci, Arman tak tahu persis. Bahkan ketika Arman sama sekali berhenti bekerja untuk merawat Lestari, Suci masih dengan dunia sosialitanya, dunia hura-hura.
Arman terlambat tahu, apa yang terjadi pada Suci, pada dunia sosialitanya, pada lelaki yang mendanainya, dalam larut menghirup nikmat dunia bebas diluar. Hingga akhirnya, ketika malam itu, sepulangnya menghantar Lestari dari dokter, hanya sepucuk surat yang dia terima, sebagai wakil Suci, sedangkan Suci telah pergi bersama lelaki yang dia percayai mampu memberikan kebahagiaan.
*****
Kini hantu dari masa silam itu telah datang, hadir dalam masa kekinian Arman. Bahkan tinggal di rumah yang selama ini hanya dia isi bersama Lestari. Â Lorong kelabu yang dalam, dari masa silam itu muncul kembali dan siap menenggelamkannya. Padahal telah lama Arman berupaya menghapus bayangan itu agar lenyap dari hatinya.
Tapi, ada daya yang dapat Arman lakukan? Upaya melupakan Suci, bagai mencoba mencegah Mentari untuk terbit di Timur dan terbenam di Barat. Ada sebuah lemari besi di sudut hati Arman yang paling dalam, yang Arman sediakan hanya untuk diisi sebuah nama, dan nama itu Suciati. Lemari itu tak pernah beranjak dari tempatnya, tak pernah dia buka untuk memberikan kesempatan masuk nama lain, selain Suciati.
Kini, bagaimana dia akan menceritakan kisah masa lalu ini pada Lestari? Anak semata wayang yang kini secara fisik telah dewasa. Namun, tak memiliki kemampuan nalar untuk menangkap apa yang akan dia kisahkan.
Masih terbayang segar di pelupuk mata Arman, bagaimana seminggu yang lalu, ketika hujan tengah malam, ada ketukan yang keras dan lama di pintu rumahnya. Saat Arman buka, Â sesosok yang tak muda lagi berdiri kaku di balik pintu yang dia buka. Sosok yang tak asing bagi Arman. Namun, Arman masih bisa mengenali lekuk-lekuk wajah wanita yang tak muda lagi itu, wajah yang mengisi ruang penuh lemari besi dipojok terdalam pada rongga hatinya. Lemari besi yang dia tak pernah buka dan tak pernah dia beri kesempatan untuk digantikan seorangpun untuk menempatinya, selain Suciati.
"Suci?!" Suaranya terkesiap dan terkesan gamang keluar dari bibir Arman. Nyaris saja sosok itu dia raih dalam peluknya. Ah, alangkah cepat waktu berlalu. Lebih 20 tahun sudah, sejak sosok yang meninggalkan secarik kertas untuk pergi mengejar mimpinya.
Hening beberapa saat, Arman hanya menatap dengan pandang penuh tanda tanya, pada tamu yang datang tengah malam itu, tamu yang tak diundang, meski disudut terdalam hatinya, masih terkadang, ada asa yang menghendaki, suatu ketika akan datang kembali dalam kehidupannya.
Hujan masih meneteskan, bulir-bulir titik hujan diatas sana. Arman mempersilahkan Suci masuk, mempersilahkannya memasuki kamar miliknya yang memang tak pernah ditiduri seorangpun selama Suci pergi. Bahkan seluruh pakaian yang tak sempat dibawa Suci pergi, masih tergantung rapi pada tempatnya.
*****
sejak kehadiran Suci, ada kekikukan yang terjadi pada Arman. Kikuk dan bingung, bagaimana menjelaskan pada Lestari, siapakah wanita yang hadir diantara mereka. Bagaimana reaksinya ketika dia bertatap muka dengan Suci, bagaimana dia harus melayani Lestari sementara Suci dengan penuh perhatian memperhatikannya melayani Lestari.
Pernah, Suci mencoba untuk menggantikan pekerjaan rutin Arman melayani Lestari. Namun, dengan reflex Lestari menolaknya. Percobaan yang selanjutnya gagal dilakukan Suci.
Pelan tapi pasti, kondisi serba kaku itu, melelahkan Arman. Akhirnya, dia sendiri ikut sakit. Sakit yang dia sendiri tak tahu apa. Seluruh persendian terasa begitu lemah. Hilang semua tenaga. Hanya, Lestari yang mampu membuatnya bertahan untuk tetap merasa gagah. Namun, hingga kapan, kondisi ini dapat Arman pertahankan.
Malam tadi, entah apa gerangan, peluh bercucuran hebat di sekujur tubuh Arman, dia tertidur begitu lelap. Entah karena keringat yang bercucuran deras, entah karena tidur yang demikian lelap, Arman terjaga dengan rasa haus yang sangat.
*****
Fajar mulai merekah di ufuk timur. Suara takbir terdengar bersahut-sahutan dari pengeras suara masjid. Dunia mulai terbangun. Arman dengan terseok berjalan ke ruang tengah, rasa haus ini begitu menyiksa untuk dialiri air.
Di tengah ruangan, Arman melihat Suci tengah khusu' menengadahkan tangan, entah apa yang dia pohonkan pada Allah. Suci tampak terperanjat begitu menyadari akan kehadirannya. Suasana di tengah ruangan itu menjadi sunyi sesaat. Alangkah sulitnya bagi Arman untuk memulai percakapan di antara mereka.
sesaat menjelang tangan Arman menyentuh Suci, dia terjatuh. Dengan sigap Suci menangkap tubuh Arman. Membawanya dalam pelukan Suci.
Dalam rasa antara sadar tak sadar, Arman merasakan pelukan Suci seperti pelukan yang dia rasa saat-saat masa mereka pacaran dulu, masa-masa indah menyeberangi jalan Braga di Bandung.
"Maafkan Suci Mas" bisik Suci di telinga Arman.
Arman diam, berharap pelukan Suci tak segera berakhir
"Suci mengira, akan mampu menghadapi rasa sunyi ini, Suci telah banyak berbuat salah pada Mas Arman. Suci beranggapan akan mampu menghadapi ini sendiri. Kesepian itu, begitu menyiksa, mengerikan sangat" Â lanjut suci.
"Bertahun-tahun keinginan untuk kembali itu, Suci buang jauh-jauh, setelah hanya lima tahun Suci bersama mas Bram. Kesalahan Suci begitu besar, juga kesalahan-kesalahan yang berikutnya setelah Mas Bram membuang Suci" lanjut Suci.
"Suci hanya ingin Mas Arman berikan maaf untuk Suci, rasanya tak ada lagi tempat untuk Suci di sini, Mas terlalu mulia untuk Suci damping lagi"
Arman masih diam.
"Setelah Mas Arman berikan maaf, suci akan pergi"
Arman masih diam. Namun, kebekuan di hati Arman mulai mencair seperti kotak eskrim terkena sinar matahari. Arman menangkap getar kepedihan dari suara Suci, wanita yang tak dia berikan kesempatan untuk digantikan oleh wanita lain dalam hatinya.
"Ngomong dong Mas, berikan maaf itu, hanya itu, tak usah yang lain"
"Suci... peluk Mas" pinta Arman.
Reflex Suci mempererat pelukannya pada Arman. Lelaki sumber inspirasinya, yang telah dia khianati.
"Makasih.. pelukan terakhir Suci, jawaban dari Mas untuk maaf yang suci minta"
Entah apa yang terjadi, tenaga Arman tiba-tiba saja pulih, dia duduk di sebelah Suci. Arman meraih tangan Suci yang terasa dingin di tangan Arman. Arman mencoba tersenyum dan menarik tangan Suci ke dalam genggamannya dan menciumnya.
Tak kata yang keluar lagi dari mulut Arman. Arman sepenuhnya sadar, bahwa sayang dan cinta ini, masih sepenuhnya untuk Suci. Arman tak butuh alasan mengapa dulu Suci pergi, apa yang telah dia lalukan selama kepergiannya, apa yang dipikiran suci hingga dia kembali lagi. Semuanya, Arman tak butuhkan itu.
Bukankah, diantara do'a yang dia munajatkan pada malam-malam sunyinya, semoga suatu hari kelak suci akan kembali padanya. Sekarang Suci sudah kembali, do'anya sudah terkabul. Tugas Arman kini memaafkan semuanya, menerima Suci dengan segala ketulusan, mencegah Suci untuk tak pergi lagi.. menggenapkan apa-apa yang dulu belum sempat mereka sempurnakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H