[caption caption="Pintu Gerbang Mesjid Raya Medan (dok.Pribadi)"][/caption]Mobil Inova hitam pekat tua, yang ditumpangi Selamat untuk lamaran itu, membelah kota Medan, posisinya di Jalan Iskandar Muda, sebentar berhenti di lampu merah jalan Gajah Mada. Begitu lampu hijau kembali menyala, kendaraan mereka kembali berjalan dengan kecepatan sedang, tak perlu ngebut, tokh, keluarga wanita, tentunya, pasti akan menunggu.
Di ujung jalan Iskandar Muda, kembali kendaraan mereka berbelok ke kiri, masuk jalan Gatot Subroto. Tujuan mereka kota Binjai. Di kota yang berjarak 20 km dari Medan itu, Selamat akan melamarkan Hadi Nugraha, untuk wanita pujaannya, Lastri.
Jika saja, sampai Binjai nanti, kondisi jalan di hari minggu ini, tetap saja sesepi sekarang, maka empat puluh menit lagi, kendaraan mereka akan tiba di rumah Lastri. Itu artinya, masih pagi. Jadi untuk apa ngebut. Resiko yang didapat, tak sebanding dengan hemat waktu yang mereka kejar.
Tiba di perapatan lampu merah Jalan Gatot Subroto – Jalan Darusalaam, mobil mereka kembali tertahan. Lampu merah baru saja menyala. Di ujung matanya, Selamat melihat ke kiri. Ke jalan Darusalaam. Jalan itu sudah banyak berubah. Tak sekecil yang dulu lagi, ketika dia meninggalkan Medan 23 tahun lalu. Di sini, tempatnya tertahan, ketika itu, tak ada lampu merah. Sehingga, kendaraan akan tetap melaju.
Belum sempat Selamat, bernostalgia dengan Jalan Darusalaam itu, lampu hijau kembali menyala. Mobil Inova itupun kembali berjalan. Masih dengan kecepatan yang sama. Tak ada yang perlu di kejar. Santai saja.
“Pak Selamat, masih hapal jalan-jalan di Medan?” tanya Hadi
“Masih lah Pak Hadi” jawab Selamat.
Bahkan, jalan yang baru saja kita lewati tadi, jalan Darusalaam, sangat hapal. Di sana saya hapal dengan seluruh detailnya, senti demi senti, dengan seluruh kenangan yang melekat di sana. Bathin Selamat.
“Sudah lama meninggalkan Medan pak?” tanya Hadi lagi.
“Sudah 23 tahun lalu” jawab Slamet lagi.
“Dulu tinggal dimana pak?”