"La, Ibu menelpon... Aduh, bagaimana ini?"Â
"Angkat saja, Na. Bilang pada Ibu kita belum ketemu orangnya."Â
Ragu kutekan lambang telepon berwarna hijau. Sebelumnya aku sudah menarik napas dalam-dalam, berusaha menetralkan suaraku agar Ibu tidak curiga.
"Halo, Bu." Sapaku senormal mungkin.
"Nduk, Mbak Ratih Ayu barusan menelepon. Dia suka pakaiannya. Katanya pas banget. Alhamdulillah ya Nduk, dia suka...."Â
"Bu, Mbak Ra...tih A...yu menele...pon?" Tanyaku terbata-bata. Laila pias. Mungkin akupun begitu, entah, aku tak melihat bayangan wajahku, hanya kurasakan wajahku dingin.
"Dia bilang terima kasih sama kamu juga...."
Kutekan lambang telepon berwarna merah meski Ibu belum selesai berbicara. Tanganku bergetar. Gawai itu jatuh ke lantai. Beruntung gawai itu tidak pecah. Aku langsung memungutnya, memasukkan ke dalam tasku, lalu kutarik tangan Laila keluar.Â
Bu Kades yang sedang menyiapkan sarapan terbengong-bengong mendengarku berpamitan. Mungkin banyak yang ingin beliau tanyakan, tapi aku ingin segera pergi dari tempat itu. Sesaat sebelum kunyalakan mesin, aku sempat melihat ke arah tanah kosong di samping rumah Pak Kades, seorang gadis sebaya denganku, memakai setalan pakaian pesanan buatan Ibu berdiri di bawah pohon nangka. Rambutnya disanggul dengan hiasan bunga melati. Di tangan kanannya tertenteng sebuah tas plastik, tas yang kubawa sebagai wadah pesanan rasukan itu. Ia tersenyum manis kepadaku. Aku tak peduli, kutekan gas sepeda motor matikku agak dalam. Sayup kudengar suara gamelan, ning nong ning nong ....
***Â
Semarang, 23 Mei 2021