Laila masih tertidur ketika aku masuk ke dalam kamar. Kulihat pakaianku yang kupakai tadi malam tergeletak di atas kasur. Pelan aku memakainya. Tiba-tiba aku teringat tas berisi pesanan konsumen Ibu. Tak ada di tempatnya.
"Laila, bangun, La." Kugoyang-goyang tubuh Laila dengan keras, antara panik dan kesal karena sahabatku itu terlalu ngebo tidurnya.
"Apa sih?" Desisnya. Dia menggapai gawainya, "Baru jam lima udah ribut." Dia menelungkupkan badannya.
"Pesanan Ratih Ayu hilang!" seruku.
Laila terlonjak. Dia langsung duduk, menatapku dengan kedua bola matanya membulat sempurna.
"Kok bisa?"
"Bantu cari." Â
Kami berdua mencari-cari di sekitar tempat tidur, di atas tempat tidur, di bawah selimut, di kolong kasur, tetap nihil. Aku ingat betul, semalam tas itu kuletakkan di tepi kasur. Apakah dicuri orang? Adakah yang membuka pintu kamar ini tadi malam? Tak mungkin, pintu ini dikunci dengan sentekan, jadi tak mungkin bisa dibuka dari luar. Tunggu, bisa jadi ada orang masuk ke dalam kamar ini, buktinya pagi ini aku sudah berada di luar rumah tanpa kuingat bagaimana aku bisa ada di luar.
"La, bagaimana tanggungjawabku pada Ibu?" Tanyaku bergetar. Terbayang sudah, Ibu pasti panik. Satu stel pakaian itu harganya dua juta rupiah. Jumlah yang terlalu besar jika kami harus mengganti. Aku terduduk lemas di sudut kamar.
Ting ting ting ....
Layar gawaiku menyala, ada nama Ibu di situ.Â