Ning nong ning nong ....
Sayup suara gamelan itu terdengar mendayu mengiring desir angin malam yang entah, seperti biasa sekencang ini ataukah malam ini saja. Daun-daun saling bergesek beradu. Terkadang suaranya berdecit. Bahkan pepohonan bambu di luar kamarku berderak-derak. Hei, perhatikan, suaranya sangat berirama. Sepertinya memang pepohonan bambu dan dedaunan di luar sana itu sedang menari mengikuti alunan suara gending gamelan.
Ning nong ning nong ....
Suara gamelan perlahan menguat. Ah, berjalankah gamelannya? Aku yakin, musik itu berasal dari perangkat asli gamelan yang terbuat dari logam berat seperti timah, perunggu, dan besi, bukan suara rekaman dari perangkat elektronik. Tapi bagaimana cara mereka membawa perangkat yang demikian berat itu? Diangkut dengan kendaraan sejenis trukkah? Harusnya aku juga bisa mendengar deru suara truk itu. Desa ini sangat sunyi, suara radio bisa terdengar ke rumah yang letaknya terhitung jauh.
"La, La, bangun." Bisikku pada Laila. Ia sahabatku sejak bayi, bisa dikatakan sahabat turun temurun. Kakek nenek kami sudah bersahabat sejak mereka belia, akhirnya menurun juga pada anak cucunya. Tapi gadis itu memang tidurnya "ngebo", diguncangpun dia tidak bangun. Aku mendesis pelan.
Ning nong ning nong ....
Sekarang suaranya benar-benar dekat. Aku bisa mendengar dengan jelas suara bonang dipukul, nyaring suara saron, merdu suara rebab. Alunannya halus bak mengiring tari tradisonal Jawa yang terkenal dengan gerakannya yang lemah gemulai. Tapi tunggu, bagaimana bisa aku membedakan suara dari tiap perangkat gamelan yang bermacam-macam itu? Sedangkan aku sendiri tak hapal sama sekali nama-namanya. Entah, tiba-tiba aku tahu semuanya.
Kuberanikan diri mengintip dari jendela kamar yang memang berlubang di sana-sini. Di sana, beberapa belas meter di depanku, sekelompok niyaga (penabuh gamelan) berpakaian tradisional Jawa, baju lurik dipadu dengan kain jarik, serta blangkon di kepala menabuh gamelan dengan khidmatnya. Kabut tipis mengaburkan wajah-wajah mereka, tapi aku bisa melihatnya dengan jelas, mereka menabuh gamelan di atas tanah berumput tanpa alas.
"Husna, ada apa?" Laila yang terjaga bertanya dengan nada pelan dan khawatir.Â
"Ada yang menabuh gamelan di luar." Jawabku tetap berbisik. Kepalaku tak berpaling padanya, mataku masih takjub memandang sekelompok niyaga di luar. Laila bangkit, ikut berdiri di sampingku, mengintip.
"Aneh nggak, ada penabuh gamelan di tanah?" Tangan Laila merengkuhku. Kurasakan tangannya sangat gemetar dan dingin.