Di Oktober yang paradoks
Wajah-wajah memakai topeng sebagai kedok
Penakut menyaru pemberani
Penipu menyamar pembaharu
Preman bergaya orang beriman
Penjahat berdandan serupa malaikat
Pemerkosa bermain-main dengan prosa
Ortodoks berubah menjadi tuhan.
Lalu bagaimana hendak meniru Tuhan?
Sedang menjadi iblis saja tak mampu.
Di tempat ini, sejarah dicuci sedemikian rupa
Tak boleh ada noda
Tak boleh ada cela
Tak boleh ada kemiskinan
Tak boleh ada darah
Tak boleh ada air mata.
Sejarah adalah manekin yang selalu bersih, putih, dan cantik
Yang selalu tersenyum di luar, tetapi meratap di dalam
Yang megah dan mewah, tetapi selalu mudah goyah.
Di bulan yang penuh tanya
Kita mendaku satu bahasa
Tapi bahasa justru membuat bertanya-tanya
Apa dengan mengucap kata yang sama, manusia lebih kenal sesama?
Menjadi senasib sepenanggungan, sama rata-sama rasa?
Dan 1.340 suku apakah punya suara yang sama?
Dan 17.504 pulau apakah punya karang yang tak beda?
Oooh ... bahasa
Betapa lugu dan lucunya aku
Kuhabiskan waktu dengan tontonan semu akan realita dunia
Dari layar gawai 6,5 inci
Kuanggap itu nyata
Padahal simulakra
Padahal bahasa tak ada dalam upacara dan lokakarya
Bahasa adalah bisikan lirih
Darinya yang tak bisa mencium harum tanah,
Mencumbu lembut kabut hutan,
Dan menari di bawah mentari.
Sebab bahasa adalah air yang jatuh dari mata
Bahasa air mata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H