Mohon tunggu...
Isur Suryati
Isur Suryati Mohon Tunggu... Guru - Menulis adalah mental healing terbaik

Mengajar di SMPN 1 Sumedang, tertarik dengan dunia kepenulisan. Ibu dari tiga anak. Menerbitkan kumpulan cerita pendek berbahasa Sunda berjudul 'Mushap Beureum Ati' (Mushap Merah Hati) pada tahun 2021. Selalu bahagia, bugar dan berkelimpahan rejeki. Itulah motto rasa syukur saya setiap hari.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Benarkah Generasi Muda saat ini Bermental Tempe, Bising di Media tanpa Aksi?

9 Oktober 2024   08:32 Diperbarui: 9 Oktober 2024   08:32 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya tidak termasuk dalam golongan yang gemar mencap generasi muda sebagai "mental tempe". Sejujurnya, saya pernah mendengar kalimat itu beberapa kali dari rekan kerja yang lebih tua, bahkan dari tetangga. 

Mereka sering kali mengeluh tentang bagaimana anak-anak muda saat ini dianggap tidak tahan banting, cepat mengeluh, dan cenderung malas. Namun, seiring dengan waktu, saya semakin paham bahwa stigma ini muncul bukan hanya karena perbedaan usia, tetapi juga karena perbedaan akses informasi dan cara mereka mengolahnya.

Di era digital yang kita jalani sekarang, generasi muda memiliki cara pandang yang jauh berbeda dari generasi sebelumnya. Perubahan ini tidak dapat dihindari, terlebih dengan adanya perkembangan teknologi dan media sosial yang telah mengubah cara kita berkomunikasi, berinteraksi, dan membentuk pandangan sosial.

Media Sosial: Panggung Suara Generasi Muda

Siapa di antara kita yang belum mendengar nama platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter? Rasanya hampir mustahil untuk menemukan seseorang di bawah usia 30 yang tidak memiliki setidaknya satu akun di salah satu dari media sosial tersebut. 

Bahkan, saya sendiri yang merasa sudah agak "tua" sering kali tidak ingin ketinggalan tren di media sosial. Di sinilah kita bisa melihat fenomena yang menarik. Generasi muda tidak lagi hanya menjadi konsumen informasi, tetapi mereka juga menjadi produsen sekaligus penggerak perubahan sosial.

Dalam hitungan detik, sebuah ide, pendapat, atau bahkan kritik bisa tersebar ke ribuan hingga jutaan orang. Melalui platform seperti Twitter dan TikTok, generasi muda dapat dengan cepat menyampaikan pandangan mereka, mengkritisi kebijakan pemerintah, atau bahkan menyuarakan ketidakpuasan terhadap layanan publik. 

Saya mengingat betul salah satu contoh gerakan yang sangat populer, yaitu #BlackLivesMatter. Meskipun gerakan ini dimulai di Amerika Serikat, berkat kekuatan media sosial, dukungan dari seluruh dunia bisa terkumpul hanya dalam hitungan hari. Indonesia pun turut berpartisipasi dengan tagar #BlackLivesMatter sempat menduduki trending topic di Twitter.

Statistik menunjukkan betapa kuatnya pengaruh media sosial dalam kehidupan generasi muda. Menurut laporan We Are Social tahun 2023, di Indonesia saja, 191,4 juta orang (69% dari total populasi) menggunakan media sosial, dengan usia 16-24 tahun menjadi pengguna terbesar. Angka ini menunjukkan betapa dominannya peran media sosial sebagai panggung utama bagi generasi muda untuk menyuarakan pendapat mereka.

Dari Keluhan Menjadi Aktivisme

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun