Setiap tahun, selalu hadir satu bulan yang selalu kita nantikan kedatangannya, bak tamu agung. Bulan itu adalah bulan Ramadhan dengan segala kemuliaan dan kehangatan yang membawa kita pada momen-momen yang istimewa.Â
Di antara nuansa suci dan kesederhanaan, tradisi buka bersama (bukber) menjadi panggilan yang tak terbantahkan bagi banyak orang untuk bersatu, berbagi, dan mengenang.
Kembali ke Akar Tradisi
Di tengah aroma khas hidangan Ramadhan yang menggoda, bukber bukan hanya sekadar mengisi perut, tetapi juga memenuhi hati dengan kehangatan persaudaraan.Â
Bagi banyak orang, bukber adalah jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan kini, di mana kita bisa kembali ke masa-masa indah bersama teman-teman lama.
Saat duduk di atas tikar yang berserakan di ruang tamu, atau duduk di bangku rumah makan, cafe atau tempat sejenis yang cocok untuk buka bersama. Cerita-cerita masa lalu pun mulai mengalir.Â
Kembali teringat akan kenangan manis di bangku sekolah, kejenakaan remaja, dan momen-momen lucu yang pernah kita alami bersama.Â
Sungguh, bukber bukan sekadar ajang makan bersama, tetapi juga panggung di mana nostalgia hidup masa lalu terulang kembali.
Nostalgia dan Realita yang Beriringan
Namun, di balik kehangatan nostalgia, realita tak bisa diabaikan begitu saja. Terkadang, bukber juga menjadi panggung bagi perilaku-perilaku yang kurang positif.Â
Dari perbincangan yang berlebihan tentang harta, gaya hidup, hingga ghibah yang menyelinap masuk dalam percakapan, kita diingatkan bahwa bukber bukan sekadar tentang makanan, tetapi juga sikap dan perilaku.