"Sebagai seorang pendidik, jadilah seperti air. Teguh pendiriannya namun juga siap untuk menyesuaikan diri dalam menjalani proses belajar"
(Itje Chodidjah)
Refleksi Kompetensi Sosial dan Emosional
Selama menjadi pendidik, Anda tentu pernah mengalami sebuah peristiwa yang dirasakan sebagai sebuah kesulitan, kekecewaaan, kemunduran, atau kemalangan, yang akhirnya membantu Anda bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya.
1.Apa kejadiannya, kapan, di mana, siapa yang terlibat, apa yang membuat Anda memilih merefleksikan peristiwa tersebut, dan bagaimana kejadiannya?
Pada tahun 2017, saya diamanahi sebagai wali kelas 8-G dari pertama saya masuk ke kelas tersebut, beberapa guru ada yang konfirmasi dan complain tentang seorang peserta didik perempuan, sebut saja namanya Y. Mengapa guru-guru complain, karena siswi ini setiap hari ke sekolah selalu memakai masker. Sedangkan, pada saat itu pemakaian masker belum biasa seperti saat ini, saat kita menghadapi pandemic covid-19.Â
Saat sebelum covid-19, memakai masker saat berbicara bahkan dianggap tidak sopan secara etika tidak tertulis.
Pemakaian masker secara massif yang dilakukan oleh siswi ini juga menimbulkan hambatan bagi beberapa mata pelajaran yang mengharuskan praktek membutuhkan suara dan mulut seperti Seni Budaya ada praktek meniup harmonica dan seruling, bahasa Indonesia dan Bahasa Sunda ada praktek berpidato dan bernyanyi. Sedangkan, siswi tersebut saat melakukan praktik pun dia keberatan untuk membuka maskernya.
Akhirnya, pada saat pembagian raport semester ganjil, saya merasa memiliki kesempatan untuk berbicara dengan orangtua siswi tersebut. Karena, pada saat hari-hari biasa, beberapa kali saya ingin ngobrol untuk konfirmasi kepada orangtuanya siswi tersebut, beliau tidak bisa. Karena, aktivitasnya sebagai abdi negara.
Nah, nama siswi tersebut saat menerima raport, berada di urutan paling akhir. Jadi, saya merasa ini kesempatan yang sangat baik. Semua orang tua dan peserta didik lain sudah pada pulang. Tinggallah di ruangan tersebut, saya, siswi Y, dan bapaknya.
Saya pun memulai pembicaraan dengan kalimat yang lembut dan santun, "Bapa, boleh saya minta ijin waktunya untuk ngobrol tentang putri, Bapak?"Â
Beliau saat itu, hanya mengangguk. Dari gesture tersebut, saya beranggapan bahwa beliau bersedia. Saya pun melanjutkan pembicaraan, "Selama satu semester ini, saya menerima beberapa masukkan dari guru-guru mata pelajaran terkait kebiasaan putri bapak yang selalu memakai masker dan menolak membuka masker, bahkan saat ada praktek yang mengharuskan dia membuka masker seperti praktik meniup seruling dan pianika. Nah, sebagai wali kelas, saya mewakili guru-guru yang lain ingin bertanya dan mengkonfirmasi masalah ini?"
Ketika selesai saya berbicara seperti itu, bapak ini tiba-tiba saja berdirii, dengan muka penuh amarah, dia menunjuk-nunjuk wajah saya dan berkata,"Memang ada aturan sekolah yang melarang peserta didik memakai masker! Pantesan ya nilai-nilai anak saya terus saja turun. Mungkin ini penyebabnya. Pantas saja, anak saya selalu terlihat murung bila pulang ke rumah. Karena, ia diintimidasi oleh guru-gurunya." Ucap beliau dengan berapi-api.
Saat itu, saya tidak memiliki kesempatan untuk berkata-kata lagi. Karena, beliau langsung menghubungi kepala sekolah, para wakasek, dan beliau pun langsung menelepon ke dinas pendidikan. Beliau mengadukan saya dengan tuduhan wali kelas dan guru-guru telah mengintimidasi anaknya karena pemakaian masker.
Waktu terasa begitu mencekam, saat itu. Sebenarnya, orang tua tersebut menginginkan semua guru datang dan menanggapi kemarahan beliau. Namun, saat dikumpulkan oleh kepala sekolah, hanya saya sebagai wali kelas dan guru Seni Budaya yang memenuhi panggilan. Maka, saat kasus ini naik ke pengadilan, saya berdua guru seni budayalah yang menjalani proses siding dan BAP.
Benar-benar, pengalaman yang serasa mimpi di siang bolong. Karena, secara tiba-tiba saja, saya menjadi terdakwa dan harus menjalani pemeriksaan kepolisian. Saya menjalani beberapa tuduhan, yang padahal saya tidak pernah melakukannya, diantaranya: Saya dituduh merubah nilai di raport, dituduh menerima gratifikasi dari orang tua siswa saat penerimaan raport. Padahal, tidak ada seorang pun orang tua yang memberikan hadiah atau apapun pada saya saat itu.
Kasus ini pun menjadi viral, karena orang tua tersebut mengadukannya ke media dan meminta berita ini diangkat di beberapa televisi swasta.
2.Bagaimana Anda menghadapi krisis tersebut (coping)? Bagaimana  Anda dapat bangkit kembali (recovery) dan bertumbuh (growth) dari krisis  tersebut?
Saya menghadapi kasus ini dengan kaki yang seakan tidak berpijak di tanah. Karena, bagi pemahaman saya saat itu, berhubungan dengan kepolisian adalah sebuah aib. Saya bersama pihak sekolah akhirnya menjalani mediasi menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan, saya meminta maaf dan memohon orang tua tersebut mau mencabut laporannya di kepolisian.Â
Cara ini tidak berhasil, saya pun menjalani beberapa kali pemeriksaan di kepolisian untuk dua kalimat yang saya ucapkan saat pembagian raport tersebut.
Untuk dua kalimat tersebut, saya mendapatkan 25 pertanyaan BAP. Beberapa hari terganggu, saya tidak bisa mengajar seperti biasa, karena waktu saya gunakan untuk datang ke kantor polisi. Masalah ini akhirnya, ditangani oleh dinas pendidikan kabupaten. Alhamdulillah, mediasi kekeluargaan pun berhasil. Saya dan guru seni budaya tidak jadi ditahan di kepolisian.
Gambarkan diri Anda setelah melewati krisis tersebut.
Setelah masalah tersebut selesai, saya seakan merasa terlepas dari mimpi buruk yang tiba-tiba saja mencengkeram diri saya. Beberapa tahun setelah kejadian, saya mengalami beberapa efek traumatis diantaranya: gemetar kalau melihat orang yang berseragam polisi atau tentara, takut bertemu orang tua siswa, dan takut ketika melihat orang yang memakai masker.
Seiring berjalannya waktu, saya mulai belajar untuk mengendalikan efek traumatis itu dengan cara membiasakan diri dengan semua hal yang saya anggap akan menimbulkan trauma. Saya bersyukur, saat pandemi covid-19 yang mengharuskan saya memakai masker, sedikit demi sedikit saya belajar untuk menganggap bahwa semua yang terjadi adalah hal biasa, bukan sesuatu yang istimewa.Â
Dari pengalaman itu, saya bangkit menjadi orang baru yang lebih bersemangat lagi untuk memperbaiki diri, terutama dalam hal publik speaking. Saya juga mengasah hobi saya dalam menulis dengan mendaftar di beberapa platform kepenulisan. Alhamdulillah, berproses selama tiga tahun, dari Desember 2021 hingga sekarang saya sudah meraih penulis centang biru.
3.Apa hal terpenting yang telah Anda pelajari dari krisis tersebut?
Hal paling penting yang saya pelajari dari masalah ini adalah, bahwa sebagai guru saya harus berhati-hati dalam berbicara dengan orang lain. Saat kalimat yang kita gunakan sudah baik, santun, dan sopan pun. Saya tetap harus memperhatikan situasi dan kondisi orang tua peserta didik. Mungkin beliau merasa emosi karena sudah menunggu dari awal, pas dia kebagian yang terakhir, harus menerima konfirmasi masalah yang sangat menyesakkan, akhirnya beliau secara emosi meledak tidak karuan. Dari kasus tersebut, saya belajar untuk empati dengan orang lain.
4.Bagaimana dampak pengelolaan krisis tersebut terhadap diri Anda dalam menjalankan peran sebagai pendidik?
Setelah mengalami kasus ini, saya menjadi takut dan trauma menghadapi orang tua peserta didik, apalagi bila orang tua peserta didik tersebut seorang abdi negara. Saat menjadi wali kelas dan menjadi guru. Saya benar-benar merasa takut untuk berbicara atau berkomunikasi kepada orang tua, apalagi terkait masalah peserta didik.
Saat itu, bukan saya saja yang merasa trauma dan ketakutan. Tapi, semua guru juga menjadi terkena imbasnya. Bila ada peserta didik yang ada masalah, guru merasa takut orang tuanya tidak terima dan nantinya akan berujung seperti saya di pengadilan.
Beberapa tahun saya mengalami trauma tersebut. Bila ada masalah dengan peserta didik di kelas yang saya wali kelasi, biasanya saya akan menyerahkannya pada Bimbingan dan Konseling (BK).
Alhamdulillah, beberapa tahun berlalu. Saya mulai pulih dari trauma, tapi tetap saja untuk urusan berbicara dengan orang tua, saya berusaha dengan hati-hati sekali. Kadang untuk berkata tersebut, saya konsep dulu, kemudian saya konsultasikan dulu dengan BP, apakah kalimat ini bisa digunakan dan tidak menyinggung perasaan orang tua peserta didik.
5.Sebagai pendidik, Anda tentu pernah bertemu murid yang memiliki pemahaman diri, ketangguhan, atau kemampuan membangun hubungan yang positif dengan orang lain. Setujukah Anda bahwa faktor-faktor tersebut membantu ia menjalani proses pembelajaran dengan lebih optimal di sekolah? Jelaskan jawaban Anda dengan bukti atau contoh yang mendukung.
Saya setuju bahwa pemahaman diri, ketangguhan, dan kemampuan membangun hubungan positif dengan orang lain adalah faktor-faktor kunci yang dapat membantu seorang siswa mengalami proses pembelajaran di sekolah dengan lebih efektif. Hal ini dapat dijelaskan dengan contoh dan bukti sebagai berikut:
Pemahaman Diri:
Pemahaman diri adalah kesadaran siswa tentang diri mereka sendiri, termasuk kekuatan, kelemahan, minat, dan nilai-nilai pribadi. Siswa yang memiliki pemahaman diri yang baik akan lebih mampu mengenali cara terbaik untuk belajar. Mereka bisa mengidentifikasi gaya belajar mereka dan memilih metode pembelajaran yang sesuai. Contoh: Seorang siswa yang tahu bahwa ia adalah pembelajar visual akan lebih sukses dalam belajar melalui gambar dan diagram dibandingkan dengan pendekatan yang lebih berfokus pada teks.
Ketangguhan (Resilience):
Ketangguhan adalah kemampuan untuk mengatasi kesulitan dan tantangan. Siswa yang memiliki tingkat ketangguhan yang baik akan lebih mampu menghadapi kegagalan atau kesulitan dalam proses pembelajaran tanpa merasa putus asa. Mereka cenderung lebih tekun dan siap untuk belajar dari kesalahan mereka. Contoh: Seorang siswa yang meraih nilai rendah dalam ujian pertama, namun memiliki ketangguhan yang tinggi, akan berusaha lebih keras dalam ujian berikutnya daripada siswa yang mudah menyerah.
Kemampuan Membangun Hubungan Positif:
Kemampuan untuk membangun hubungan positif dengan guru dan teman sekelas dapat menciptakan lingkungan belajar yang lebih mendukung. Siswa yang memiliki keterampilan sosial yang baik akan lebih mudah berkolaborasi dengan teman sekelas dalam proyek-proyek sekolah dan mendapatkan dukungan dari guru. Contoh: Seorang siswa yang bisa berkomunikasi dengan baik dan bekerja sama dalam kelompok akan merasa lebih nyaman dan termotivasi untuk belajar.
Terdapat bukti empiris yang mendukung hubungan antara pemahaman diri, ketangguhan, dan kemampuan membangun hubungan positif dengan hasil pembelajaran yang lebih baik. Penelitian telah menunjukkan bahwa siswa yang memiliki kualitas-kualitas ini cenderung memiliki motivasi yang lebih tinggi, performa akademik yang lebih baik, dan tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi di lingkungan sekolah.
Dalam upaya mendukung perkembangan faktor-faktor ini, pendidik dapat mengadopsi pendekatan yang mempromosikan perkembangan emosi sosial siswa, seperti program pembelajaran sosial dan emosional (SEL). Program SEL membantu siswa mengembangkan pemahaman diri, mengelola emosi, membangun hubungan yang positif, dan mengatasi kesulitan. Dengan memberikan perhatian kepada aspek-aspek ini, pendidik dapat membantu siswa mencapai potensi maksimal mereka dalam proses pembelajaran.
6.Dari kedua refleksi di atas, apa yang dapat Bapak/Ibu simpulkan tentang hubungan antara kompetensi sosial dan emosional dengan keberhasilan dalam pengelolaan krisis Anda dan pembelajaran murid Anda?
Hubungan antara kompetensi sosial dan emosional peserta didik sangat berhubungan dan menentukan sekali atas keberhasilan peserta didik dalam mengelola masalah dan pembelajaran di kelas. Hal ini dikarenakan, peserta didik yang memiliki pengelolaan emosi yang baik, dia akan lebih mampu mengenali cara terbaik dalam belajar. Dia juga akan mampu mengatasi kesulitan dan tantangan yang dihadapi saat belajar. Kemampuan peserta didik dalam membangun hubungan positif dengan guru dan teman sekelas akan menciptakan lingkungan belajar yang lebih mendukung. Siswa akan lebih mudah berkolaborasi dengan teman-teman sekelas dalam meyelesaikan proyek serta tugas-tugas.
7.Setelah menjawab pertanyaan-pertanyaan sebelumnya, apa yang Anda harapkan untuk pembelajaran selanjutnya ?
Harapan saya dalam menghadapi pembelajaran selanjutnya bagi diri saya sendiri adalah saya bisa memiliki pemahaman yang baik tentang diri sendiri, saya juga ingin memiliki kemampuan dalam mengelola emosi dengan baik saat berkomunikasi dengan orang lain, saya ingin bersikap tenang, santun, dan memahami setiap kalimat yang saya katakan. Saya juga ingin agar dalam pembelajaran selanjutnya, saya mampu untuk mengelola emosi saya dengan lebih baik lagi dalam hubungan sosial dengan murid, rekan sejawat, dan orang tua peserta didik.
8. Setelah menjawab pertanyaan-pertanyaan sebelumnya, apa yang Anda harapkan untuk pembelajaran selanjutnya ? Silahkan kemukakan  Harapan bagi murid-murid Anda ?
Harapan saya bagi murid adalah mereka memiliki empati kepada teman-temannya yang sedang menghadapi masalah, sehingga kemampuan ini akan menjadikan peserta didik mampu menghargai sesama, tidak berani untuk menghina dan melemahkan orang lain. Dari pemahaman ini, nantinya peserta didik akan menghindari bullying dan tidak berperilaku yang menyakiti, dan menghina orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H