Setelah masalah tersebut selesai, saya seakan merasa terlepas dari mimpi buruk yang tiba-tiba saja mencengkeram diri saya. Beberapa tahun setelah kejadian, saya mengalami beberapa efek traumatis diantaranya: gemetar kalau melihat orang yang berseragam polisi atau tentara, takut bertemu orang tua siswa, dan takut ketika melihat orang yang memakai masker.
Seiring berjalannya waktu, saya mulai belajar untuk mengendalikan efek traumatis itu dengan cara membiasakan diri dengan semua hal yang saya anggap akan menimbulkan trauma. Saya bersyukur, saat pandemi covid-19 yang mengharuskan saya memakai masker, sedikit demi sedikit saya belajar untuk menganggap bahwa semua yang terjadi adalah hal biasa, bukan sesuatu yang istimewa.Â
Dari pengalaman itu, saya bangkit menjadi orang baru yang lebih bersemangat lagi untuk memperbaiki diri, terutama dalam hal publik speaking. Saya juga mengasah hobi saya dalam menulis dengan mendaftar di beberapa platform kepenulisan. Alhamdulillah, berproses selama tiga tahun, dari Desember 2021 hingga sekarang saya sudah meraih penulis centang biru.
3.Apa hal terpenting yang telah Anda pelajari dari krisis tersebut?
Hal paling penting yang saya pelajari dari masalah ini adalah, bahwa sebagai guru saya harus berhati-hati dalam berbicara dengan orang lain. Saat kalimat yang kita gunakan sudah baik, santun, dan sopan pun. Saya tetap harus memperhatikan situasi dan kondisi orang tua peserta didik. Mungkin beliau merasa emosi karena sudah menunggu dari awal, pas dia kebagian yang terakhir, harus menerima konfirmasi masalah yang sangat menyesakkan, akhirnya beliau secara emosi meledak tidak karuan. Dari kasus tersebut, saya belajar untuk empati dengan orang lain.
4.Bagaimana dampak pengelolaan krisis tersebut terhadap diri Anda dalam menjalankan peran sebagai pendidik?
Setelah mengalami kasus ini, saya menjadi takut dan trauma menghadapi orang tua peserta didik, apalagi bila orang tua peserta didik tersebut seorang abdi negara. Saat menjadi wali kelas dan menjadi guru. Saya benar-benar merasa takut untuk berbicara atau berkomunikasi kepada orang tua, apalagi terkait masalah peserta didik.
Saat itu, bukan saya saja yang merasa trauma dan ketakutan. Tapi, semua guru juga menjadi terkena imbasnya. Bila ada peserta didik yang ada masalah, guru merasa takut orang tuanya tidak terima dan nantinya akan berujung seperti saya di pengadilan.
Beberapa tahun saya mengalami trauma tersebut. Bila ada masalah dengan peserta didik di kelas yang saya wali kelasi, biasanya saya akan menyerahkannya pada Bimbingan dan Konseling (BK).
Alhamdulillah, beberapa tahun berlalu. Saya mulai pulih dari trauma, tapi tetap saja untuk urusan berbicara dengan orang tua, saya berusaha dengan hati-hati sekali. Kadang untuk berkata tersebut, saya konsep dulu, kemudian saya konsultasikan dulu dengan BP, apakah kalimat ini bisa digunakan dan tidak menyinggung perasaan orang tua peserta didik.
5.Sebagai pendidik, Anda tentu pernah bertemu murid yang memiliki pemahaman diri, ketangguhan, atau kemampuan membangun hubungan yang positif dengan orang lain. Setujukah Anda bahwa faktor-faktor tersebut membantu ia menjalani proses pembelajaran dengan lebih optimal di sekolah? Jelaskan jawaban Anda dengan bukti atau contoh yang mendukung.
Saya setuju bahwa pemahaman diri, ketangguhan, dan kemampuan membangun hubungan positif dengan orang lain adalah faktor-faktor kunci yang dapat membantu seorang siswa mengalami proses pembelajaran di sekolah dengan lebih efektif. Hal ini dapat dijelaskan dengan contoh dan bukti sebagai berikut:
Pemahaman Diri:
Pemahaman diri adalah kesadaran siswa tentang diri mereka sendiri, termasuk kekuatan, kelemahan, minat, dan nilai-nilai pribadi. Siswa yang memiliki pemahaman diri yang baik akan lebih mampu mengenali cara terbaik untuk belajar. Mereka bisa mengidentifikasi gaya belajar mereka dan memilih metode pembelajaran yang sesuai. Contoh: Seorang siswa yang tahu bahwa ia adalah pembelajar visual akan lebih sukses dalam belajar melalui gambar dan diagram dibandingkan dengan pendekatan yang lebih berfokus pada teks.