Beliau saat itu, hanya mengangguk. Dari gesture tersebut, saya beranggapan bahwa beliau bersedia. Saya pun melanjutkan pembicaraan, "Selama satu semester ini, saya menerima beberapa masukkan dari guru-guru mata pelajaran terkait kebiasaan putri bapak yang selalu memakai masker dan menolak membuka masker, bahkan saat ada praktek yang mengharuskan dia membuka masker seperti praktik meniup seruling dan pianika. Nah, sebagai wali kelas, saya mewakili guru-guru yang lain ingin bertanya dan mengkonfirmasi masalah ini?"
Ketika selesai saya berbicara seperti itu, bapak ini tiba-tiba saja berdirii, dengan muka penuh amarah, dia menunjuk-nunjuk wajah saya dan berkata,"Memang ada aturan sekolah yang melarang peserta didik memakai masker! Pantesan ya nilai-nilai anak saya terus saja turun. Mungkin ini penyebabnya. Pantas saja, anak saya selalu terlihat murung bila pulang ke rumah. Karena, ia diintimidasi oleh guru-gurunya." Ucap beliau dengan berapi-api.
Saat itu, saya tidak memiliki kesempatan untuk berkata-kata lagi. Karena, beliau langsung menghubungi kepala sekolah, para wakasek, dan beliau pun langsung menelepon ke dinas pendidikan. Beliau mengadukan saya dengan tuduhan wali kelas dan guru-guru telah mengintimidasi anaknya karena pemakaian masker.
Waktu terasa begitu mencekam, saat itu. Sebenarnya, orang tua tersebut menginginkan semua guru datang dan menanggapi kemarahan beliau. Namun, saat dikumpulkan oleh kepala sekolah, hanya saya sebagai wali kelas dan guru Seni Budaya yang memenuhi panggilan. Maka, saat kasus ini naik ke pengadilan, saya berdua guru seni budayalah yang menjalani proses siding dan BAP.
Benar-benar, pengalaman yang serasa mimpi di siang bolong. Karena, secara tiba-tiba saja, saya menjadi terdakwa dan harus menjalani pemeriksaan kepolisian. Saya menjalani beberapa tuduhan, yang padahal saya tidak pernah melakukannya, diantaranya: Saya dituduh merubah nilai di raport, dituduh menerima gratifikasi dari orang tua siswa saat penerimaan raport. Padahal, tidak ada seorang pun orang tua yang memberikan hadiah atau apapun pada saya saat itu.
Kasus ini pun menjadi viral, karena orang tua tersebut mengadukannya ke media dan meminta berita ini diangkat di beberapa televisi swasta.
2.Bagaimana Anda menghadapi krisis tersebut (coping)? Bagaimana  Anda dapat bangkit kembali (recovery) dan bertumbuh (growth) dari krisis  tersebut?
Saya menghadapi kasus ini dengan kaki yang seakan tidak berpijak di tanah. Karena, bagi pemahaman saya saat itu, berhubungan dengan kepolisian adalah sebuah aib. Saya bersama pihak sekolah akhirnya menjalani mediasi menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan, saya meminta maaf dan memohon orang tua tersebut mau mencabut laporannya di kepolisian.Â
Cara ini tidak berhasil, saya pun menjalani beberapa kali pemeriksaan di kepolisian untuk dua kalimat yang saya ucapkan saat pembagian raport tersebut.
Untuk dua kalimat tersebut, saya mendapatkan 25 pertanyaan BAP. Beberapa hari terganggu, saya tidak bisa mengajar seperti biasa, karena waktu saya gunakan untuk datang ke kantor polisi. Masalah ini akhirnya, ditangani oleh dinas pendidikan kabupaten. Alhamdulillah, mediasi kekeluargaan pun berhasil. Saya dan guru seni budaya tidak jadi ditahan di kepolisian.
Gambarkan diri Anda setelah melewati krisis tersebut.