Namun, Rindang juga merasa bimbang karena ia sudah bersuami dan merasa tidak tahu harus berbuat apa. Ia merasa terjebak dalam dilema antara kebahagiaan pribadi dan tanggung jawab sebagai seorang istri.
*
Setelah pertemuan di taman itu, Rindang mencoba untuk move on. Ia ingin menghalau semua haru biru rindu yang berkecamuk di dalam hatinya. Sebuah undangan untuk mengisi seminar kepenulisan, tiba-tiba saja seperti menyelamatkannya. Sehingga, lambat tapi pasti, menghapus dengan pelan wajah Ario dari pikiran Rindang. Karena, saat ini ia fokus untuk mempersiapkan materi dan power point yang akan disampaikannya dalam seminar tersebut.
Akhirnya, pada hari yang telah dijadwalkan. Rindang pun melenggang dengan busana kesayangannya, kaos casual dan celana kulot yang gambrong, ditambah cardigan biru elegan menambah cantik penampilannya. Tidak lupa laptop dan sekoper pakaian untuk ganti. Menurut jadwal, Rindang akan pergi selama tiga hari.Â
Awalnya, Bimo kurang setuju. Namun, ia tidak bisa apa-apa. Karena, ini semua merupakan passion Rindang. Mana mungkin ia bisa menghentikannya.
"Baik-baik di sana, ya!" Pesan Bimo pendek.
Rindang menjawab ungkapan kekhawatiran Bimo tersebut dengan kerjapan mata. Ada rasa lega yang ia rasakan. Saat siluet tubuh Bimo yang jangkung dan atletis menghilang dari pandangannya.
"Pyuuhhh." Rindang menghempaskan badan rampingnya di jok mobil.
"Berangkat, Non!" Tanya Mang Salim mengagetkan Rindang.
"Iya, Mang! bikin saya shock saja." Rindang cemberut.
"Non sih mau berpisah sama Tuan kok kaya melepaskan beban gitu." Mang Salim bersungut.