Rindang menyelesaikan beberapa naskah yang harus dikirimkan ke penerbit dalam waktu dekat. Ia merasa kelelahan dan memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak di taman kota yang berada dekat rumahnya. Ia duduk di bangku taman yang teduh di bawah pohon rindang yang menjulang tinggi.
Tiba-tiba, ia merasa ada seseorang yang duduk di sebelahnya. Ia menoleh dan terkejut melihat Ario, cinta pertamanya yang sudah lama tidak ia jumpai.
"Ario? Apa kabar?" tanya Rindang, masih terkejut.
"Aku baik-baik saja, Rindang. Bagaimana kabarmu? Sudah lama sekali kita tidak bertemu," jawab Ario sambil tersenyum.
Rindang merasa sedikit gugup dan tidak tahu harus berkata apa. Ia merasa campur aduk antara senang dan tidak nyaman bertemu dengan Ario setelah sekian lama tidak bertemu.
"Aku... aku baik-baik saja, Ario. Bagaimana kabarmu selama ini?" tanya Rindang.
"Aku juga baik-baik saja. Sudah lama sekali aku ingin bertemu denganmu, Rindang," kata Ario.
Rindang merasa sedikit lega mendengar ucapan Ario. Ia juga merasa senang bisa bertemu dengan Ario lagi setelah sekian lama tidak bertemu. Namun, ia juga merasa tidak nyaman karena ia masih ingat perasaannya pada Ario di masa lalu.
"Aku... aku juga senang bisa bertemu denganmu lagi, Ario," kata Rindang.
Mereka duduk berdampingan di bangku taman, mengobrol dan mengingat masa lalu mereka. Rindang merasa terharu ketika Ario mengaku masih menyimpan perasaan untuknya meskipun mereka sudah lama tidak bertemu.
Namun, Rindang juga merasa bimbang karena ia sudah bersuami dan merasa tidak tahu harus berbuat apa. Ia merasa terjebak dalam dilema antara kebahagiaan pribadi dan tanggung jawab sebagai seorang istri.
*
Setelah pertemuan di taman itu, Rindang mencoba untuk move on. Ia ingin menghalau semua haru biru rindu yang berkecamuk di dalam hatinya. Sebuah undangan untuk mengisi seminar kepenulisan, tiba-tiba saja seperti menyelamatkannya. Sehingga, lambat tapi pasti, menghapus dengan pelan wajah Ario dari pikiran Rindang. Karena, saat ini ia fokus untuk mempersiapkan materi dan power point yang akan disampaikannya dalam seminar tersebut.
Akhirnya, pada hari yang telah dijadwalkan. Rindang pun melenggang dengan busana kesayangannya, kaos casual dan celana kulot yang gambrong, ditambah cardigan biru elegan menambah cantik penampilannya. Tidak lupa laptop dan sekoper pakaian untuk ganti. Menurut jadwal, Rindang akan pergi selama tiga hari.Â
Awalnya, Bimo kurang setuju. Namun, ia tidak bisa apa-apa. Karena, ini semua merupakan passion Rindang. Mana mungkin ia bisa menghentikannya.
"Baik-baik di sana, ya!" Pesan Bimo pendek.
Rindang menjawab ungkapan kekhawatiran Bimo tersebut dengan kerjapan mata. Ada rasa lega yang ia rasakan. Saat siluet tubuh Bimo yang jangkung dan atletis menghilang dari pandangannya.
"Pyuuhhh." Rindang menghempaskan badan rampingnya di jok mobil.
"Berangkat, Non!" Tanya Mang Salim mengagetkan Rindang.
"Iya, Mang! bikin saya shock saja." Rindang cemberut.
"Non sih mau berpisah sama Tuan kok kaya melepaskan beban gitu." Mang Salim bersungut.
Rindang tidak menanggapi celotehan Mang Salim. Ia pun sibuk dengan laptopnya.
*
Setelah tiga hari menyelesaikan pekerjaan sesuai yang dijadwalkan. Rindang memutuskan untuk memperpanjang masa inapnya di hotel, dan memutuskan untuk keluar sejenak dari kamarnya. Ia ingin berjalan-jalan di sekitar hotel, mencari udara segar dan menenangkan pikirannya. Saat berjalan, tiba-tiba ia mendengar suara familiar dari belakang.
"Rindang?"
Rindang langsung mengenali suara itu. Ia berbalik dan terkejut melihat sosok yang kemarin ia coba lupakan: Ario, cinta pertamanya.
"Ario? Apa kabarmu?" Rindang terkejut dan bahagia sekaligus ketika melihat Ario.
"Ikut acara bisnis di sini. Bagaimana kabarmu, Rindang?" Ario tersenyum dan menghampiri Rindang.
Rindang merasa ada perasaan yang mencampur aduk dalam dirinya ketika bertemu dengan Ario lagi. Di satu sisi, ia merasa bahagia karena bisa bertemu dengan seseorang yang dulu pernah sangat berarti baginya. Namun, di sisi lain, ia juga merasa bersalah karena merasa telah mengkhianati Bimo.
"Baik-baik saja, Ario. Kamu sendiri? Sudah menikah?" Rindang mencoba mengalihkan pembicaraan.
Ario menggelengkan kepalanya. "Belum, belum menemukan yang tepat." Ia tersenyum dan kemudian mengajak Rindang untuk duduk bersama di salah satu bangku di taman hotel.
Mereka pun mulai mengobrol dan mengenang kembali masa-masa indah yang pernah mereka jalani bersama. Rindang merasa nyaman berbicara dengan Ario, seperti waktu dulu ketika mereka masih bersama. Namun, di balik semua itu, Rindang merasa bersalah kepada suaminya dan merasa seperti sedang membangkitkan kembali perasaan lama yang sudah seharusnya ia lupakan.
Saat mereka sedang asyik berbicara, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Mereka terpaksa mencari tempat berteduh dan memilih untuk masuk ke sebuah kafe yang berada di dekatnya.
Di dalam kafe, Rindang dan Ario terus berbincang-bincang. Semakin lama, semakin terbuka rasa kangen dan rindu di antara mereka. Namun, di balik itu semua, Rindang merasa ragu dan takut pada perasaannya sendiri. Ia tahu bahwa hal ini bukanlah yang seharusnya ia lakukan, apalagi ia adalah seorang istri yang harus setia pada suaminya.
Namun, bagaimana Rindang dapat menahan perasaannya ketika hatinya merindukan Ario begitu sangat? Dan apakah Ario juga masih merasakan hal yang sama? Semua pertanyaan ini menghantuinya sepanjang malam.
Rindang merasa canggung di awal pertemuan dengan Ario. Namun, seiring berjalannya acara, keduanya semakin terbuka satu sama lain dan saling bercerita tentang kehidupan masing-masing. Rindang merasa ada magnet yang kuat antara dirinya dan Ario, seperti kembali ke masa lalu saat mereka masih muda dan saling mencintai.
Mereka terus berbicara dan tertawa bersama hingga larut malam. Saat acara usai dan tamu-tamu mulai beranjak pulang, Rindang merasa sedih harus berpisah dengan Ario lagi. Dia merasa kembali ke dunianya yang membosankan, di mana dia hanya merasa terikat dengan pernikahan yang diatur oleh orang tuanya.
Saat Ario hendak pergi, Rindang memberikan nomor teleponnya dan berjanji akan tetap menjalin kontak dengan Ario. Setelah itu, keduanya berpisah dengan harapan bertemu lagi di masa depan. Setelah pertemuan itu, Rindang merasa sulit untuk menghilangkan bayangan Ario dari pikirannya. Dia merasa terusik dan tersiksa oleh kehadirannya, meskipun dia tahu bahwa bertemu Ario kembali bisa berbahaya bagi kehidupannya.**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H