Dalam hal ini, gender yang dirugikan dan mendapatkan beban pekerjaan yang lebih banyak itu sebenarnya bisa siapa saja.
Bisa laki-laki, bisa juga perempuan. Tetapi, dalam kenyataannya di lapangan. Selalu saja jenis kelamin perempuan yang mengalami double burden. Jarang sekali, bahkan tidak ada laki-laki yang dikabarkan mendapat beban lebih banyak daripada perempuan.
Apa penyebab double burden, sehingga perempuan yang selalu menjadi korban?
Seperti dikutip dari laman kemdikbud.go.id, bahwa ada beberapa hal yang menjadi penyebab terjadinya double burden pada perempuan dalam rumah tangga.
1. Pelabelan sifat-sifat tertentu (stereotip).
Perempuan dalam kehidupan ini dilabeli dengan sifat-sifatnya yang baik, lemah lembut, keibuan, suka mengurus, merawat, dan membantu orang lain.
Pelabelan berdasarkan sifat-sifay tersebut, tampak dari permukaan seperti sedang memuji dan menyanjung. Namun, ternyata di balik itu, pelabelan tersebut mengantarkan perempuan pada pekerjaan-pekerjaan yang bersifat domestik.
Bukan saja menjadikan perempuan sebagai pelayan bagi orang lain. Dalam hal ini, melayani suami, orang tua, dan anak-anak yang mau tidak mau harus menjadi tanggung jawabnya.
Perempuan juga rentan mendapatkan beban yang berlebih terkait stereotip tersebut. Apalagi, bila ia juga berperan sebagai wanita karir yang harus bekerja di luar rumah.
2. Pemiskinan ekonomi terhadap perempuan.
Minimnya pemilikan perempuan terhadap barang-barang yang bersifat ekonomi. Dalam hal ini, menyangkut peran perempuan yang tidak bisa menghasilkan uang di luar rumah.Â