Ada peribahasa Sunda yang berbunyi, 'awewe mah dulang tinande'. Artinya perempuan itu seperti 'dulang' dalam bahasa Indonesia 'dulang' berarti pane, talam, atau wadah yang berbentuk lingkaran berdiameter antara 30 cm - 50 cm. Semakin dalam diameter lingkarannya semakin kecil.
Dulang biasanya digunakan untuk tempat mengaduk nasi, saat nasi selesai di'karih' (setengah matang) dan saat nasi matang lalu diaduk-aduk di dalam dulang dengan didinginkan dengan alat berbentuk menyerupai kipas, yang dinamakan hihid.Â
Dulang pada umumnya dibuat dari kayu gelondongan, dengan cara dilubangi. Bentuk lubangna serupa dengan kerucut terbalik.
Ditinjau secara leksikal atau arti kata yang terdapat dalam kamus. Peribahasa 'awewe dulang tinande' dapat dijelaskan sebagai berikut. Awewe memiliki arti wanita ; perempuan secara umum. Kata ini termasuk ke dalam bahasa loma, yakni bahasa yang biasa dipakai sehari-hari. Bahasa halus dari awewe adalah istri. Lawan kata dari 'awewe' adalah 'lalaki' artinya laki-laki, bahasa halusnya adalah pameget.
Kata 'mah' merupakan partikel yang menjadi penegas dari kata 'awewe' bahwa memang kalimat selanjutnya ditujukan untuk menggambarkan perempuan. Kata 'Dulang' dalam kamus diartikan sebagai nama bagi benda yang digunakan untuk menumbuk atau mengaduk-aduk.
Dulang terbuat dari kayu yang keras, bentuknya bulat dengan satu lubang mengarah ke atas. Benda yang disimpan di dalam 'dulang' biasanya akan ditumbuk menggunakan sebuah alat yang bernama alu.
Seperti yang sering kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, saat kita memasak, menumbuk bahan makanan di dalam dulang. Maka, kita akan nampak bahwa dulang tugasnya adalah diam saja. Dia hanya berfungsi untuk menampung saja.
Sedangkan yang aktif dan agresif bergerak adalah alu. Kata 'Tinande' asal katanya dari 'tande' mendapat infiks atau sisipan --in artinya menampung; menunggu.
Lihat saja bentuk 'dulang', ia terbuka di bagian atas. Perempuan dalam peribahasa ini diibaratkan atau disimbolkan sebagai 'dulang'. Sebagaimana kita ketahui, semua wadah yang memiliki permukaan terbuka, dan ada ceruk di dalamnya.
Tentu saja, barang tersebut akan digunakan sebagai wadah bagi barang lain yang ukurannya lebih kecil. Dalam hal ini, dulang biasa dipakai untuk mewadahi nasi sebelum dituang ke wadah lain yang bernama 'boboko' atau bakul dalam bahasa Indonesia. Dulang juga biasa digunakan untuk memproses nasi ketan menjadi olahan penganan, seperti : opak, ranginang, dan lain-lain. Â
Dalam menjalankan tugasnya 'dulang' memiliki pasangan. Ketika dia digunakan untuk mendinginkan nasi yang sudah dimasak, pasangan dulang adalah cukil kai atau centong nasi yang dibuat dari kayu. Beda lagi, saat digunakan untuk membuat penganan opak dan ranginang, dulang berpasangan dengan 'halu' atau alu. Karena, dalam proses yang kedua ini, memerlukan tenaga yang cukup banyak.
Perempuan disimbolkan sebagai 'dulang tinande' artinya perempuan harus taat dan patuh terhadap apapun yang dikatakan suaminya. Perempuan harus menerima setiap keputusan yang diberikan lelaki. Dalam hal ini perempuan harus menunggu laki-laki (pasif).
Oleh karena itu, maka di dalam kehidupan masyarakat Sunda, ada ketabuan bagi perempuan untuk menyatakan cinta terlebih dahulu kepada laki-laki. Seorang perempuan akan menunggu hingga laki-laki tersebut menyatakan cinta kepadanya.
Sejalan dengan hal tersebut, di dalam agama Islam pun, saat sebuah mahligai rumahtangga harus menghadapi badai perceraian. Maka, perempuan tidak bisa begitu saja bercerai. Seorang perempuan harus menunggu laki-laki yang menjadi suaminya menjatuhkan talak. Karena, sebagaimana kerasnya seorang perempuan berniat untuk bercerai. Jika laki-laki sebagai suami tidak mau menceraikan. Maka, talak tidak akan terjadi.
Memiliki makna yang serupa dengan peribahasa di atas, yakni awewe dulang tinande. Ditemukan pula peribahasa lainnya yaitu 'sapi anut ka banteng'. Perempuan disimbolkan sebagai sapi dan laki-laki disimbolkan sebagai banteng.
Secara anatomi, tubuh sapi dan banteng memiliki perbedaan. Pertama, banteng memiliki tanduk yang lebih panjang dan lebih tajam dari pada tanduk pada sapi. Kedua, sapi memiliki kelenjar susu dan bentuk susu yang lebih besar daripada banteng.
Ketiga, sapi biasa diternakkan, secara karakter, sapi lebih jinak dan penurut. Berbeda dengan banteng, yang terbiasa hidup di alam liar, banteng bertindak lebih buas dan liar. Hal itu disebabkan karena banteng harus berebut mendapatkan makanan, dan membuktikan eksistensi dirinya di kalangan hewan yang lain.
Sejalan dengan hal ini, penelitian yang dilakukan Farieda Ilhami Zulaikha dan Sundari Purwaningsih juga menunjukkan hasil yang sama. Bahwa, peribahasa 'sapi anut ka bantng' men-citra-kan perempuan yang disimbolkan dengan sapi, hewan ternak yang jinak. Tentu harus tunduk dan patuh kepada laki-laki yang disimbolkan dengan banteng, sebagai lambing keperkasaan dan kejantanan.
Simbol banteng sebagai lambang kejantanan dan keperkasaan dapat kita temui juga dalam iklan sebuah produk minuman energi. Hal tersebut menegaskan bahwa simbol yang digunakan oleh manusia dalam kehidupan ini bersifat universal, artinya akan memiliki makna yang sama dan diakui makna tersebut oleh masyarakat umum.
Melalui simbol banteng tersebut, lelaki di-citra-kan sebagai sosok yang berkuasa dan disegani. Sedangkan perempuan di-citra-kan sebagai sosok yang jinak, penurut, dan tunduk. Simbol budaya yang terdapat dalam peribahasa ini, menunjukkan bahwa seorang istri harus patuh kepada suami.
Kedua peribahasa di atas berisi nasihat dan pepatah untuk perempuan yang belum, akan, dan  sudah menikah. Bahwa, secara tidak langsung masyarakat Sunda pada saat itu menempatkan perempuan di posisi submisif di masyarakat. Perempuan harus selalu tunduk dan menuruti apa yang dikatakan dan diputuskan oleh laki-laki.
Dengan simbol sebagai dulang pada peribahasa aww mah dulang tinand dan sebagai sapi pada peribahasa 'sapi anut ka bantng' maka perempuan tidak diberi keleluasaan untuk berpendapat dan mengemukakan apa-apa yang ada di dalam hatinya. Berkaitan dengan asa, harapan, cita-cita, dan perasaan cinta.
Bahkan, untuk perasaan jatuh cinta pun. Perempuan harus berusaha menahan dirinya untuk tidak menjadi yang pertama mengutarakan. Perempuan hanya bisa menunggu, entah sampai kapan.
Entah apakah perasaan itu akan sampai atau tidak. Umpama, lelaki yang dicintai perempuan tersebut kemudian menyatakan cintanya. Nasib baik bagi perempuan tersebut, karena cintanya gayung bersambut.Â
Bagaimana kalau tidak, bahkan laki-laki itu malah menyatakan cinta kepada perempuan lain?
Mungkin, disinilah sebagai perempuan, kita diajarkan untuk selalu menerima. Bahwa tidak semua hal yang kita inginkan akan datang ke hadapan. Semangat untuk semua perempuan di dunia ini. (*)
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H