Dalam menjalankan tugasnya 'dulang' memiliki pasangan. Ketika dia digunakan untuk mendinginkan nasi yang sudah dimasak, pasangan dulang adalah cukil kai atau centong nasi yang dibuat dari kayu. Beda lagi, saat digunakan untuk membuat penganan opak dan ranginang, dulang berpasangan dengan 'halu' atau alu. Karena, dalam proses yang kedua ini, memerlukan tenaga yang cukup banyak.
Perempuan disimbolkan sebagai 'dulang tinande' artinya perempuan harus taat dan patuh terhadap apapun yang dikatakan suaminya. Perempuan harus menerima setiap keputusan yang diberikan lelaki. Dalam hal ini perempuan harus menunggu laki-laki (pasif).
Oleh karena itu, maka di dalam kehidupan masyarakat Sunda, ada ketabuan bagi perempuan untuk menyatakan cinta terlebih dahulu kepada laki-laki. Seorang perempuan akan menunggu hingga laki-laki tersebut menyatakan cinta kepadanya.
Sejalan dengan hal tersebut, di dalam agama Islam pun, saat sebuah mahligai rumahtangga harus menghadapi badai perceraian. Maka, perempuan tidak bisa begitu saja bercerai. Seorang perempuan harus menunggu laki-laki yang menjadi suaminya menjatuhkan talak. Karena, sebagaimana kerasnya seorang perempuan berniat untuk bercerai. Jika laki-laki sebagai suami tidak mau menceraikan. Maka, talak tidak akan terjadi.
Memiliki makna yang serupa dengan peribahasa di atas, yakni awewe dulang tinande. Ditemukan pula peribahasa lainnya yaitu 'sapi anut ka banteng'. Perempuan disimbolkan sebagai sapi dan laki-laki disimbolkan sebagai banteng.
Secara anatomi, tubuh sapi dan banteng memiliki perbedaan. Pertama, banteng memiliki tanduk yang lebih panjang dan lebih tajam dari pada tanduk pada sapi. Kedua, sapi memiliki kelenjar susu dan bentuk susu yang lebih besar daripada banteng.
Ketiga, sapi biasa diternakkan, secara karakter, sapi lebih jinak dan penurut. Berbeda dengan banteng, yang terbiasa hidup di alam liar, banteng bertindak lebih buas dan liar. Hal itu disebabkan karena banteng harus berebut mendapatkan makanan, dan membuktikan eksistensi dirinya di kalangan hewan yang lain.
Sejalan dengan hal ini, penelitian yang dilakukan Farieda Ilhami Zulaikha dan Sundari Purwaningsih juga menunjukkan hasil yang sama. Bahwa, peribahasa 'sapi anut ka bantng' men-citra-kan perempuan yang disimbolkan dengan sapi, hewan ternak yang jinak. Tentu harus tunduk dan patuh kepada laki-laki yang disimbolkan dengan banteng, sebagai lambing keperkasaan dan kejantanan.
Simbol banteng sebagai lambang kejantanan dan keperkasaan dapat kita temui juga dalam iklan sebuah produk minuman energi. Hal tersebut menegaskan bahwa simbol yang digunakan oleh manusia dalam kehidupan ini bersifat universal, artinya akan memiliki makna yang sama dan diakui makna tersebut oleh masyarakat umum.
Melalui simbol banteng tersebut, lelaki di-citra-kan sebagai sosok yang berkuasa dan disegani. Sedangkan perempuan di-citra-kan sebagai sosok yang jinak, penurut, dan tunduk. Simbol budaya yang terdapat dalam peribahasa ini, menunjukkan bahwa seorang istri harus patuh kepada suami.
Kedua peribahasa di atas berisi nasihat dan pepatah untuk perempuan yang belum, akan, dan  sudah menikah. Bahwa, secara tidak langsung masyarakat Sunda pada saat itu menempatkan perempuan di posisi submisif di masyarakat. Perempuan harus selalu tunduk dan menuruti apa yang dikatakan dan diputuskan oleh laki-laki.