Sebenarnya ilmu itu bisa didapatkan secara gratis. Asal kita mau, ilmu apapun akan mudah kita dapatkan dan kuasai. Apalagi di jaman teknologi seperti sekarang ini. Untuk memperoleh ilmu kita bisa belajar secara otodidak melalui internet. Kalau begitu, mengapa biaya kuliah mahal? Karena, yang mahal itu gengsi, sistem, dan ijazahnya.
Pada tahun 2013 silam, saya pernah berdiskusi dengan seorang bapak penjual seblak, tentang masalah membiayai anak dari mulai lahir, sekolah, hingga mereka berkeluarga. Sebut saja namanya Pak Husin. Beliau biasa mangkal di depan sebuah sekolah kejuruan.Â
Saat itu, saya sedang membelikan seblak untuk anak-anak di rumah. Seblak ini merupakan pavorit keluarga kami, karena rasanya enak serta cara pengolahannya bersih. Â
Pak Husin berkata, "Membiayai anak adalah tanggung jawab dan kewajiban orang tua. Terlepas dari anak tersebut mau berakhlak baik, pintar, berbakti, bahkan nakal sekali pun. Maka, kewajiban orang tua adalah tetap membiayainya. Saya tidak pernah menuntut anak-anak untuk berprestasi di sekolah, membantu orang tua di rumah, dan kewajiban-kewajiban lainnya sebagai bentuk bakti mereka kepada orang tua. Bagi saya, membiayai anak adalah kewajiban yang harus ditunaikan sebagai orang tua. Dan ternyata, meskipun saya tidak meminta mereka untuk melakukan semua hal itu. Tapi, dengan kesadaran sendiri, anak-anak belajar dengan sungguh-sungguh di sekolah, tidak malu bantu-bantu jualan seblak di hari libur, juga taat dan rajin beribadah. Padahal, saya tidak pernah menyuruh mereka."
Dari obrolan tersebut, saya memperoleh sebuah pelajaran. Bahwa, sebagai orang tua saya harus mengantarkan anak-anak menuju pendidikan yang mereka inginkan.Â
Tanpa saya harus memaksanya memilih sekolah apa, jurusan apa, dan nantinya akan menjadi apa. Jika nantinya mereka tidak memilih sekolah formal, seperti melanjutkan kuliah atau sekolah kedinasan.Â
Umpama, mereka memilih untuk kursus, dan lain-lain. Maka, kewajiban saya sebagai orang tua adalah tetap membiayai, hingga mereka mandiri dan mampu menghasilkan uang sendiri. Karena, itulah kewajiban orang tua.Â
Saya juga tidak boleh merasa bahwa biaya yang dikeluarkan untuk membiayai mereka. Harus dikembalikan dalam bentuk bakti, prestasi, dan akhlak baik. Karena, membiayai anak bukanlah transaksi jual beli. Di mana uang harus ditukar dengan kesuksesan dan akhlak anak-anak kita. Memangnya, jika anak-anak kita ditakdirkan belum berprestasi, belum mau membantu orang tua, nakal dan akhlaknya masih berantakan.Â
Apakah kita sebagai orang tua akan berhenti membiayai mereka, tidak bukan? Tetap saja kewajiban membiayai itu akan kita pikul dan harus ditunaikan.
Oleh karena itu, sejak diskusi tersebut. Saya mulai bersiap untuk memilih investasi jangka panjang bagi dana pendidikan ketiga anak saya. Karena, saya yakin dan paham sekali, sepuluh tahun dari tahun 2013 tersebut, di mana anak saya mulai akan menapaki gerbang kuliah.Â