Di daerah Jawa Barat, pada umumnya sistem waktu kerja bagi buruh tani dikenal dengan nama bedugan.Â
Seperti buruh-buruh atau pekerja lain pada umumnya, buruh tani juga memulai kerja pada pukul tujuh pagi.Â
Perbedaannya adalah, jika buruh atau pekerja pada lain ketika adzan zuhur berbunyi itu mereka istirahat. Â Nah, kalau buruh tani pada saat itu mereka pulang. Karena, jam kerjanya berakhir hingga adzan zuhur. Karena itulah, tradisi buruh tani dalam mengerjakan sawah atau ladang orang lain dinamakan bedugan.
Patut dicatat, kata bedugan ini berasal dari tradisi masyarakat Sunda zaman dahulu, sebelum mikrofon alias pengeras suara dikenal dan dimanfaatkan secara luas. Untuk memberi tahu waktu sholat, masyarakat menabuh bedug sebagai penanda.Â
Oleh karena itu, dalam sejarah penyebaran Islam di nusantara, bedug menjadi salah satu alat syiar Islam yang penting.
Hubungan antara bedug dengan sistem waktu kerja bagi buruh tani menurut saya sangat krusial. Karena, meskipun tidak ada aturan tertulis yang mengatur tentang hal ini.Â
Namun, saya yakin semua masyarakat petani, khususnya di daerah Jawa Barat meyakini dan menggunakan aturan ini.
Benturan antara agama dan ekonomi
Saking krusialnya, hal ini bahkan dapat menyebabkan benturan atau problem antara agama dan ekonomi, mengapa? Karena ada yang diuntungkan dan dirugikan secara ekonomi dalam sistem waktu ini.Â
Sebagai contoh, jika jadwal adzan zuhur berada di kisaran pukul 12.30 hingga pukul 13.00, maka para pemilik lahan alias petani yang merasa diuntungkan. Karena, dengan nominal upah Rp 40-60 ribu dengan sistem pur (tanpa memberikan makan), ada waktu 6-7 jam bagi buruh tani untuk bekerja. Tentu saja, akan ada banyak pekerjaan pertanian yang bisa diselesaikan, apalagi dengan jumlah pekerja antara 15-30 orang.Â
Dalam hal ini, buruh tani merasa dirugikan. Karena, dengan jumlah upah segitu, mereka bekerja selama 6-7 jam dan tanpa diberi konsumsi. Mungkin hanya sekedar air minum dan sedikit camilan.Â
Bahkan, ada petani yang tidak menyediakan minum sama sekali untuk para pekerja. Hingga buruh tani terpaksa harus membawa bekal makan sendiri dari rumah.Â
Belum lagi, jika ke tempat bekerja harus ditempuh dengan kendaraan, ojek umpamanya. Ada biaya transportasi yang harus dikeluarkan.
Hal sebaliknya terjadi, seperti sekarang ini. Jadwal adzan zuhur berada pada pukul 11.43, maka, petani banyak yang mengeluh.Â
Kerja mulai pukul tujuh, eh pukul 11 sudah pada bubar. Pekerjaan banyak yang belum kelar, padahal sudah mempekerjakan banyak orang.
Bahkan, ada teman saya yang bercerita, dia berasal dari Banten, tapi sudah lama tinggal di Sumedang. Seperti kita ketahui bersama daerah Banten memiliki lahan pesawahan yang luasnya hektaran.Â
Dilansir dari Antaranews.com, Banten merupakan lumpung padi nasional. Bersama dengan 8 provinsi lainnya, Banten dinobatkan sebagai provinsi dengan penyumbang beras nasional.
Oleh karena itu, untuk mengantisipasi problematika terkait waktu adzan zuhur pada pukul 11.43. Dengan tujuan untuk meminimalisir kerugian yang dialami para petani pemilik tanah.Â
Di beberapa daerah di Banten, ada kebiasaan mengundurkan waktu adzan zuhur ke pukul 13.00.Â
Pada saat lebaran tahun 2022 kemarin, teman saya mudik ke Banten. Saat waktu menunjukkan pukul 11.43, dia langsung menuju ke masjid dan mengumandangkan adzan.Â
Selesai sholat, dia pun kembali ke rumah. Ayahnya langsung menegur, "Siapa yang adzan? Kamu ya! Aduh, pada pulang deh para pekerja." Teman saya celingak-celinguk dong tidak mengerti.
Pekerja yang terorganisir
Sebagai salah satu lumbung padi nasional, Banten telah memiliki sistem perekrutan dan penyediaan pekerja yang terorganisir.Â
Setiap 30 orang pekerja dipimpin oleh seorang koordinator. Jadi, ketika seorang petani membutuhkan pekerja untuk mengerjakan lahan, menanam, dan menyiangi tanaman, hingga melakukan pemupukan, dan panen.Â
Maka, dia tidak harus menghubungi pekerja satu persatu. Tinggal hubungi saja koordinatornya, dijamin 30 orang pekerja itu akan datang tepat pada waktunya.Â
Ketika bekerja, mereka juga sudah dilengkapi dengan seragam yang menandakan bahwa pekerjaan yang dilakukan adalah profesional dan legal.Â
Menurut saya, hal ini sangat bagus dan patut diapresiasi. Karena, sebagai sebuah profesi buruh tani pun sama dengan buruh-buruh di perusahaan. Mereka juga layak mendapatkan penghargaan atas kinerjanya.
Hilangnya regenerasi petani
Pengalaman lainnya terkait problematika sistem waktu kerja buruh tani ini berasal dari ibu saya. Beliau mengatakan bahwa upah kerja sekarang mahal.Â
Peribahasa, "Tani kari daki" (Bertani tidak memberikan keuntungan secara materi, hanya dapat daki alias badan yang kotor) menurut beliau benarlah adanya.
Karena, ketika seseorang memutuskan untuk bertani atau menjadi petani, banyak biaya yang harus dikeluarkan. Dari mulai membeli benih, upah, dan pupuk.Â
Kadang biaya yang dikeluarkan untuk menanam itu tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh. Dengan demikian, banyak generasi muda yang lahir dari keluarga petani memutuskan untuk tidak menjadi petani.Â
Bahkan orang tua yang memiliki profesi sebagai petani pun, mereka tidak mau jika anaknya meneruskan pekerjaannya menjadi petani.Â
Saya merasa sangat yakin, hanya ada satu orang dari sepersekian juta orang tua yang mengizinkan anaknya untuk menjadi petani.Â
Karena, berdasarkan pengalaman, orang tua saya pun yang bertani dari kecil dan terhitung berhasil. Hingga dapat menyekolahkan ketiga anaknya sampai perguruan tinggi.Â
Beliau berkata, "Sekolah yang rajin supaya cita-citamu tercapai, jadi guru, dokter, atau polisi. Jangan seperti bapak dan ibu hanya jadi petani." Nah lho.
Perlu aturan yang baku
Terkait sistem waktu kerja yang masih menjadi masalah hingga saat ini. Saya merasa jika hal ini penting untuk memiliki aturan baku yang ditetapkan dan disetujui bersama antara petani dan buruh tani. Bagaimana caranya agar petani dan buruh tani sama-sama diuntungkan. Perlu dibicarakan solusi yang win-win solution.Â
Entah mungkin dengan menyepakati akhir kerja bukan lagi berpatokan pada bunyi bedug, tapi pada jumlah berapa lama buruh tani harus bekerja.Â
Umpama, jika 6-7 jam, berarti sepakati saja, waktu kerja berakhir pada pukul 13.00. Walau mungkin akan ada sistem tradisi yang tergeser bahkan hilang oleh kebijakan ini.
Opsi lainnya yang dapat dipilih terkait dengan upah kerja. Apakah akan ada penambahan atau tetap, jika buruh bekerja hingga pukul 13.00.Â
Hal ini juga penting untuk dimusyawarahkan. Ibu saya bahkan berani untuk menambahkan upah sebesar Rp 5.000, bila buruh tani dapat menyelesaikan semua pekerjaan saat lewat beberapa menit dari bunyi bedug.
Bedugan sebagai kearifan lokal
Tradisi pembatasan waktu kerja dengan berpatokan pada bunyi bedug adzan zuhur ini, sudah berlangsung lama dan turun-temurun.Â
Sebagai sebuah warisan khazanah kekayaan budaya leluhur kita, bedugan tampil sebagai kearifan lokal yang patut dibanggakan. Hal ini membuktikan bahwa leluhur kita pada zaman dahulu, sudah sangat cerdas dalam mengelola sistem pertanian.Â
Ada alasan psikologis yang dapat dijelaskan terkait tradisi bedugan ini. Bahwa, secara psikologis, kemampuan dan atensi fisik dan psikis manusia saat bekerja itu akan full dan optimal dalam rentang waktu dari pukul 7.00 hingga waktu adzan zuhur tiba. Lewat dari waktu itu, performa akan menurun.Â
Hal ini sejalan dengan sudut pandang agama, bahwa setelah adzan zuhur adalah waktu yang tepat untuk istirahat dan tidur siang, agar vitalitas dan energi kembali pulih.Â
Oleh karena itu, di Jepang yang terkenal dengan gaya hidup workaholic bagi para pekerjanya. Di beberapa perusahaan sudah menerapkan aturan tidur siang di kantor pada pukul 12.00 siang.Â
Nah, itulah selayang pandang berkenalan dengan tradisi bedugan yang ada dalam masyarakat Sunda.Â
Semoga saja polemik yang terjadi dapat segera diatasi, hingga pertanian yang kita jalankan berkah dan menguntungkan. Karena, saya adalah salah satu produk yang dihasilkan dari hasil pertanian yang dikerjakan oleh orang tua saya.Â
Meski saya sendiri tidak menjadi petani, saya selalu berharap ada banyak generasi muda yang mau menjadi petani yang profesional.Â
Petani-petani yang berdasi, berasal dari perguruan tinggi, berjuang mengangkat harkat dan derajat para PETANI (Penjaga Tatanan Negara Indonesia) Indonesia seperti yang dicetuskan oleh Presiden Soekarno. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H