Mohon tunggu...
Isur Suryati
Isur Suryati Mohon Tunggu... Guru - Menulis adalah mental healing terbaik

Mengajar di SMPN 1 Sumedang, tertarik dengan dunia kepenulisan. Ibu dari tiga anak. Menerbitkan kumpulan cerita pendek berbahasa Sunda berjudul 'Mushap Beureum Ati' (Mushap Merah Hati) pada tahun 2021. Selalu bahagia, bugar dan berkelimpahan rejeki. Itulah motto rasa syukur saya setiap hari.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Puzzle Luka

27 Mei 2022   13:48 Diperbarui: 1 Juni 2022   20:30 870
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi puzzle luka | sumber: pixabay.com/modman

Kupandangi wajah Mas Teguh yang begitu tenang dan damai dalam tidurnya. Ku kecup perlahan tangannya yang berbulu lebat, hingga menggores pipiku. Menghadirkan sebuah nuansa yang cukup rumit untuk dilukiskan. 

“Kasihan, kamu Mas! Kelihatannya lelah sekali." Gumamku.

Pukul 20.00 suasana malam terasa sepi. Di usia pernikahan yang akan memasuki hitungan 12 tahun. Rumah tanggaku belum dianugerahi suara tangisan bayi. 

Aku terkadang rindu sekali hal itu. Ingin rasanya dari rahimku tumbuh benih Mas Teguh. Tapi, suamiku itu selalu berkata menguatkan, “Anak itu rejeki. Aku tidak menuntut kamu untuk punya anak. Hidup seperti ini, sudah cukup bagiku.”

Perlahan aku berjinjit meninggalkan kamar tidur kami yang hangat. Lingerie merah jambu masih tersampir di badan. Mas Teguh sering memuji badanku, tentu saja dengan kata-kata yang lurus dan tanpa ekspresi. 

“Tubuh kamu bagus.” Sudah saja. Padahal, sebagai perempuan, terkadang aku menginginkan pujian yang lebih dari itu. Minimal satu paragrap lah, ya.

Aku berjinjit ke arah tepian ranjang. Mengeluarkan koper Mas Teguh yang tadi kutaruh dengan sembarang di kolong tempat tidur. Aku membukanya perlahan, takut akan mengganggu tidurnya Mas Teguh. 

Kasihan, kalau dia harus terbangun gara-gara suara resleting koper. Satu persatu isinya aku keluarkan, semuanya baju-baju kotor. Mas Teguh adalah lelaki yang rapih dan disiplin. Semua baju kotor itu terlipat rapih dan dimasukan ke dalam kantong plastik. Jadi, aku mudah untuk membereskannya.

Setelah mengelap koper dengan cairan anti septic, aku menjinjing kantong plastik berisi cucian dan membawanya ke mesin cuci yang terletak di kamar mandi utama. Saat mengeluarkan isinya, pandanganku tertuju pada kain berwarna merah jambu. “Ini apa?” Aku bergumam. Tetiba saja jantungku berdesir.

Dengan tangan sedikit gemetar, kukeluarkan kain itu dari lipatan baju kotor. “Lingerie!” Hatiku tersentak kaget. Aku membolak-baliknya, seolah-olah tidak percaya dengan apa yang kutemukan. Tapi, hatiku masih berupaya untuk berprasangka baik. 

“Bisa saja Mas Teguh, membeli lingerie ini sebagai hadiah. Mungkin dia melihat, bahwa lingerie merah jambu yang sering aku pakai warnanya sudah usang.” Aku bergumam, seakan mengajak dialog hatiku sendiri.

Tapi, beberapa kali kubolak-balik kain tipis dan nerawang itu. Tidak kujumpai label atau kertas apapun yang menandakan produk ini baru dibeli. Malah, sobekan pita di atas bagian payudara, semakin menyakiti hatiku. Menandakan bahwa lingerie ini habis dipakai. Bahkan, sudah sering dipakai.

Ya, Tuhan! Entah mengapa hatiku terasa sakit sekali. Badanku terasa lemah dan tidak berdaya. Otakku bagaikan komputer yang kehilangan daya. 

Karena, kelebihan aplikasi atau karena tiba-tiba saja baterainya drop. Aku tidak sanggup berpikir apa-apa. Bahkan, untuk menarik napas pun terasa sulit sekali.

Perasaan sakit telah mendahului semua yang terpampang di hadapanku. Di dalam lingeri berwarna merah jambu itu, memori dan imajinasiku melayang dan hinggap pada hotel tempat Mas Teguh menginap saat lokakarya itu.

Tergambar jelas dalam memoriku, bagaimana Mas Teguh dengan kata-katanya yang singkat-singkat itu merayu seorang perempuan.

 Seperti apakah rupa perempuan itu? Monolog hatiku. Apakah ia sintal seperti aku. Ataukah langsing seperti kebanyakan perempuan masa kini. Masih mudakah? Bagaimana wajahnya, rambutnya, … ah aku merasa gila dengan pikiranku sendiri.

Aku tidak percaya, bila Mas Teguh tega melakukan hal itu di belakangku. Rasa-rasanya mustahil, tidak sedikit pun terlintas dalam otakku. Kejadian ini akan menimpa hidupku. 

Beberapa kali kucubit paha, beberapa kali juga aku menjerit kesakitan. Ternyata, aku tidak sedang bermimpi. Tetapi, mengapa rasa sakit ini, begitu tidak dapat ku tahan. Aku ingin menenggelamkan semua perasaan tidak ini ke dalam kubangan mimpi. Agar ketika aku bangun. Semuanya akan baik-baik saja.

Sebenarnya, selain lingerie sialan itu. Tidak ada hal lain yang berubah dari Mas Teguh. Ketika aku searching di google tentang ciri-ciri suami selingkuh. 

Tidak ada satu ciri pun yang tampak dalam tindakan dan perilaku Mas Teguh. Hand phone dia taruh sembarangan di mana saja, tanpa sandi dan password sekali pun. 

Semua gaji dan pendapatan dia aku yang pegang. Termasuk ATM dan lain-lainnya. Begitu pun rumah, mobil, tanah, dan semua aset sudah sertifikat atas namaku. Jadi, sebenarnya tidak ada alasan bagiku untuk merasa insecure.

Setelah peristiwa itu, semua berjalan dengan baik-baik saja. Tidak ada yang berubah secara mencolok. Bahkan, ketika beberapa hari kemudian Mas Teguh bertanya, “Mana bajuku yang tempo hari kamu cuci?”

Dengan sigap aku membawakannya dari lemari. Dia tidak bertanya tentang lingerie atau apalah. Sehingga, akhirnya kecurigaan itu kutepis sendiri. “Mungkin ini ada orang yang iseng, memasukkan lingerie ke kopernya Mas Teguh.”

*

Entah mengapa, ada sesal yang tetiba saja muncul, kala teringat betapa antusiasnya aku menyambut kedatangan lelaki beku ini. Bahkan, sebelum sore semburatkan jingga, dan  tatkala matahari mulai berbalik ke arah barat. Seperti pekerja yang lelah, ia berjalan gontai menuju pulang. Seluruh energinya habis untuk menerangi alam ini seharian. Cicit burung dari rumah tetangga, ingatkan aku bahwa malam sebentar lagi akan bertandang. Aku sudah bersiap. Begitu juga dengan lingerie merah jambu.

|Aku pulang malam ini|

Whatssapp dari Mas Teguh. Seperti biasa, bahasanya kaku, lurus, tanpa emoticon, atau rayuan maut yang biasa diucapkan oleh suami kepada istrinya. Dia memang laki-laki yang dingin, introvert, cuek, dan sejuta sinonim dari tiga kata itu.

Benar, kata orang tua kalau cinta itu bisa datang karena benci. Begitulah dengan cintaku kepada Mas Teguh. Tetiba saja rasanya, ujug-ujug aku sudah menjadi istrinya. Tunangan, lamaran, lalu menikah. Ah, kadang aneh juga, ya. Rasanya di luar kemampuanku untuk memikirkannya.

Padahal, awalnya aku benci setengah mati kepada laki-laki dengan tipe seperti dia. Aku bahkan pernah menulis di buku harian dengan aksara bercetak tebal, setelah itu diwarnai pula dengan spidol merah.

“Aku tidak suka lelaki yang cuek dan pendiam, aku suka lelaki yang romantis.”

Namun, ternyata takdir menyeretku ke arah yang berlainan dengan keinginan. Lalu, apakah aku menolak? Ketika Mas Teguh dengan gaya angkuh dan dinginnya itu datang ke rumah dan memintaku. Tidak, aku merasa tertantang. Jiwa petualangku berkeriap liar. Bersama malam yang dingin di bulan Januari, aku terima cincin berlian bermata satu itu melingkar di jari manis.

Aku ingin membuktikan kepada dunia. Kalau Maryani, bisa menaklukkan lelaki sedingin Teguh Syahputra.

Aku ingin membungkam semua mulut yang mencibirku selama ini. Mereka yang selalu berkata, jika aku adalah wanita pendiam, berselera rendah, dan perawan tua karena terlalu pemilih. Maap ya, aku bukan pemilih. Tapi, aku ingin menikah dengan orang-orang yang benar-benar aku cintai. Walau pada akhirnya, impian itu berakhir di pelukan beruang es yang dingin seperti Mas Teguh.

“Wah, Yan kita mah bukan puteri-puteri kerajaan, jangan terlalu percaya dongeng-dongeng yang diceritakan nenek. Sampai kapan kamu akan menunggu pangeran berkuda putih, sampai kapan pun tidak akan pernah ada lelaki sempurna seperti impianmu itu.” Nasihat ibu.

Selalu begitu, wejangan itu bahkan sudah aku hapal betul. Hingga titik dan komanya. Bahkan, intonasi dan jeda kalimatnya. Aku sudah paham sekali.

Jika ibu bertanya tentang mengapa aku masih betah menyendiri, selalu menolak bila ada lelaki yang datang, dan kapan akan menikah. Lalu, aku dengan tegas menjawab, “Belum bertemu yang pas dan sreg di hati, aku ingin suami yang romantis, senang melucu, perhatian, sederhana, sholeh, mampu menjadi imam, dan sejuta kriteria lainnya.” Maka, kata-kata wejangan itu akan meluncur dengan indahnya secepat kilat, bagai roller coaster dari mulut ibu.

Aku memang pernah menemukan satu sosok lelaki seperti itu. Tapi, ah sudahlah. Aku tidak mau menceritakannya. Biarlah memori aku tentang lelaki idaman itu tenggelam bersama kenangan dan muncul saat lingerie berwarna merah jambu itu aku pakai.

Saat ini, aku sudah memutuskan menerima Mas Teguh sebagai suami.

Tentu saja, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Satu yang paling utama bagiku saat ini. Meskipun ada sejuta kekurangan, tapi Mas Teguh tidak pernah menyakiti hatiku. Baik dengan kata-kata kasar, main fisik, dan menduakan. Dia termasuk kategori suami setia. Itu saja, bagiku sudah cukup. Kini, aku fokus menjadi istri yang sholehah untuk dia.

|Di jalan, sebentar lagi tiba, tolong siapkan air mandi!|

Whatssapp yang ku tunggu-tunggu muncul. Ya, aku menjawab dalam hati. Mas Teguh tidak suka bila pesannya dibalas. Dibaca saja sudah cukup bagi dia. Lebih epektif. Itu selalu katanya.

“Pesan dari aku jangan dibalas, baca saja. Aku yakin kamu pasti paham dan akan melakukannya.”

Sebegitu kakunya. Tapi, untungnya saat bersama secara pribadi. Mas Teguh orangnya lembut dan pengertian. Dia selalu mengutamakan istri dan tidak egois. Meski, ya itu kata-katanya singkat-singkat. Aku anggap, itu karena dia dulunya lulusan sains. Jadi, tidak suka bertele-tele. Berpikir epektif dan praktis saja.

Tapi, inti dari pembicaraan itu mengena.

Berbanding terbalik memang dengan sifatku yang banyak omong. Kalau berbicara harus jelas, ada SPOK-nya. Satu kalimat saja, kurang verba atau tidak ada nomina. Bahkan kurang jelas tanda bacanya. Maka, aku akan memberinya kuliah tentang tata bahasa berjam-jam lamanya.

Namun, itulah kekuatan jodoh. Meski aku dan Mas Teguh sangat berbeda. Bak bumi dan langit. Tapi, survey membuktikan. Hubungan rumah tangga kami awet dan bahagia. Sebelum aku tahu sebuah rahasia besar itu tentunya.

**

Suatu hari, saat scroll media sosial, aku melihat postingan seorang wanita bernama Anggraini. Dalam postingan tersebut ada latar belakang dua tangan yang saling bertaut, dengan suasana pantai yang hangat. 

Tertulis caption, “Makasih sayang …” sudah itu saja. Tidak ada yang luar biasa. Tapi, yang membuat hatiku berdesir untuk kedua kalinya adalah tangan yang berbulu itu, dengan jam tangan yang melingkar di pergelangannya. Aku tidak asing dengan tangan itu. Tangannya Mas Teguh.

Ya, Tuhan. Batinku kembali merasa sakit. Mengapa kau memberikan potongan puzzle dalam kehidupan rumah tangga ini. Aku tidak suka bermain tebak-tebakan. 

Potongan pertama sudah kutemukan, kini potongan kedua. Apakah ada potongan-potongan lain lagi yang harus kubuka. Siapakah Anggraini itu? Saat kususuri semua akun media sosial nama tersebut. Tidak banyak data yang dapat kuperoleh. Selain satu poto dengan caption tersebut. Tidak ada informasi penting yang bisa kujadikan sebuah pegangan untuk mengokohkan rasa curigaku.

Namun, dua hal itu tak urung membuat hidupku menjadi tidak seperti dulu lagi. Aku mulai dihantui perasaan tidak aman, khawatir ditinggalkan, sakit karena dibohongi, dan perasaan-perasaan lainnya yang berkelindan dengan imajinasiku yang terus saja berkeriap ke segala arah. Akhirnya, aku memutuskan untuk membuntuti Mas Teguh.

***

Inilah awal perkenalanku dengan seorang driver mobil online. Pertama kali, aku order dia untuk menemaniku mengawasi Mas Teguh dari jauh. Membuntuti kemana pun dia pergi. Saat Mas Teguh pamitan mau ke kantor. Aku meminta ijin padanya, “Mas, hari ini aku pulang sore, ya ada acara sama Santi.” 

Seperti biasa, Mas Teguh selalu mengijinkan, “Iya. Nikmati hari kamu.” Dia memang suami yang pengertian sejauh ini. Tidak pernah melarang aku untuk menikmati kehidupan sosial di luar rumah.

Panji, nama driver yang ku order tersebut. Parasnya yang ganteng dan lembut mengingatkanku pada lelaki idaman di masa laluku. Entah kenapa, seringnya kebersamaan dengannya. Membuat sebelah jiwaku yang tidak terisi karena sikap cuek Mas Teguh terasa menggeliat dan bergelora. Aku menemukan sosok pangeran berkuda putih itu pada Panji.

Ya, Tuhan. Kali ini aku memohon ampun pada-Nya. Bersimpuh dalam sujud yang panjang. Aku tidak mau hatiku goyah. Aku adalah istri yang setia. Aku tidak mau predikat itu akan hancur gara-gara kebersamaanku dengan Panji. Tapi, bagaimana aku membutuhkan jasanya untuk menemaniku memata-matai Mas Teguh. 

Bersamanya, beberapa puzzle tentang Mas Teguh mulai ku temukan. Puzzle ketiga, yaitu Mas Teguh makan siang bersama saat jam istirahat di rumah makan yang agak jauh dari kantor, bersama perempuan yang tangannya ada dalam foto di instagram tersebut. Aku yakin sekali, jika tangan itu adalah tangan yang sama. Meski, Mas Teguh bersikap kaku, cuek, dingin dan sejuta sinonim dari kata itu. Tapi, hatiku berkata, ada apa-apa di antara mereka.

Beberapa kali Panji menghiburku. Kata-katanya sangat mengena di hati, membuat hatiku terasa nyaman. Itu karena, Panji adalah seorang penulis yang nyambi sebagai driver demi mengumpulkan uang untuk mengobati ibunya yang sakit. Aku melihat ada ketulusan di matanya. Di usianya yang matang, Panji belum berani mengambil keputusan untuk berumahtangga. “Aku belum menemukan yang cocok.” Begitu jawabnya, saat iseng-iseng aku tanya.

Kata-kata itu mengingatkanku pada kalimat yang sering kuucapkan dulu kepada ibu. Ada beberapa kecocokkan yang membuat hubungan kami terasa dekat. Akhirnya kuketahui jika usia kami juga tidak terpaut jauh. 

Beberapa kali, Panji meminta ijin untuk memanggil namaku Ria. Bukan ibu, seperti awal pertama ia menyapaku. Katanya biar terkesan kekinian. Nama Maryani menurut dia, tidak cocok dengan penampilanku. Nama itu terlalu Ndeso. Aku menyetujuinya. Dia memang benar, nama itu sudah tidak cocok lagi dengan kepribadianku kini.

Entah mengapa, seiring bertambahnya puzzle perselingkuhan Mas Teguh yang mulai terbuka satu-persatu. Dari mulai lingerie merah jambu, postingan seorang perempuan di media sosial, lalu pertemuan Mas Teguh di rumah makan bersama seorang perempuan. 

Hingga fakta terbaru dan yang paling membuat aku shock. Yaitu, Mas Teguh telah memiliki anak. Usia anak itu adalah enam tahun. Semua itu seharusnya membuat hatiku hancur berkeping-keping. Aku sampai pada kesimpulan, ternyata beruang es itu tidak segarang penampilannya. Tidak selurus pandangan matanya.

Tapi, tidak. Aku merasanya kok biasa saja, ya. Aku juga sudah memaafkan Mas Teguh dalam hatiku. Aku yakin hal itu dia lakukan, karena kekuranganku. Aku memang tidak memiliki anak darinya. 

Entah, aku yang mandul atau siapa. Aku belum pernah coba memeriksakannya. Dengan terbukanya kasus perselingkuhan ini. Aku yakin, mungkin akulah yang mandul. Tapi, it’s oke. Aku tidak akan mengatakan semua penemuan ini. Biarlah Mas Teguh tenang dengan segala kebohongannya.

Dan aku mulai memberikan permainan itu. “Sekarang, coba kau temukan puzzle-ku Mas.” Sorakku dalam hati. Karena, tiba-tiba saja, di luar kebiasaannya. 

Kini, Mas Teguh mulai banyak bicara dan bertanya. “Dari mana kamu, Mar? Mengapa Whatssapp-ku tidak dibalas? Mengapa begitu banyak lingerie warna merah jambu di lemari kamu?” Tentu saja akan muncul mengapa-mengapa yang lainnya. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun