Semua gaji dan pendapatan dia aku yang pegang. Termasuk ATM dan lain-lainnya. Begitu pun rumah, mobil, tanah, dan semua aset sudah sertifikat atas namaku. Jadi, sebenarnya tidak ada alasan bagiku untuk merasa insecure.
Setelah peristiwa itu, semua berjalan dengan baik-baik saja. Tidak ada yang berubah secara mencolok. Bahkan, ketika beberapa hari kemudian Mas Teguh bertanya, “Mana bajuku yang tempo hari kamu cuci?”
Dengan sigap aku membawakannya dari lemari. Dia tidak bertanya tentang lingerie atau apalah. Sehingga, akhirnya kecurigaan itu kutepis sendiri. “Mungkin ini ada orang yang iseng, memasukkan lingerie ke kopernya Mas Teguh.”
*
Entah mengapa, ada sesal yang tetiba saja muncul, kala teringat betapa antusiasnya aku menyambut kedatangan lelaki beku ini. Bahkan, sebelum sore semburatkan jingga, dan tatkala matahari mulai berbalik ke arah barat. Seperti pekerja yang lelah, ia berjalan gontai menuju pulang. Seluruh energinya habis untuk menerangi alam ini seharian. Cicit burung dari rumah tetangga, ingatkan aku bahwa malam sebentar lagi akan bertandang. Aku sudah bersiap. Begitu juga dengan lingerie merah jambu.
|Aku pulang malam ini|
Whatssapp dari Mas Teguh. Seperti biasa, bahasanya kaku, lurus, tanpa emoticon, atau rayuan maut yang biasa diucapkan oleh suami kepada istrinya. Dia memang laki-laki yang dingin, introvert, cuek, dan sejuta sinonim dari tiga kata itu.
Benar, kata orang tua kalau cinta itu bisa datang karena benci. Begitulah dengan cintaku kepada Mas Teguh. Tetiba saja rasanya, ujug-ujug aku sudah menjadi istrinya. Tunangan, lamaran, lalu menikah. Ah, kadang aneh juga, ya. Rasanya di luar kemampuanku untuk memikirkannya.
Padahal, awalnya aku benci setengah mati kepada laki-laki dengan tipe seperti dia. Aku bahkan pernah menulis di buku harian dengan aksara bercetak tebal, setelah itu diwarnai pula dengan spidol merah.
“Aku tidak suka lelaki yang cuek dan pendiam, aku suka lelaki yang romantis.”
Namun, ternyata takdir menyeretku ke arah yang berlainan dengan keinginan. Lalu, apakah aku menolak? Ketika Mas Teguh dengan gaya angkuh dan dinginnya itu datang ke rumah dan memintaku. Tidak, aku merasa tertantang. Jiwa petualangku berkeriap liar. Bersama malam yang dingin di bulan Januari, aku terima cincin berlian bermata satu itu melingkar di jari manis.