Aku ingin membuktikan kepada dunia. Kalau Maryani, bisa menaklukkan lelaki sedingin Teguh Syahputra.
Aku ingin membungkam semua mulut yang mencibirku selama ini. Mereka yang selalu berkata, jika aku adalah wanita pendiam, berselera rendah, dan perawan tua karena terlalu pemilih. Maap ya, aku bukan pemilih. Tapi, aku ingin menikah dengan orang-orang yang benar-benar aku cintai. Walau pada akhirnya, impian itu berakhir di pelukan beruang es yang dingin seperti Mas Teguh.
“Wah, Yan kita mah bukan puteri-puteri kerajaan, jangan terlalu percaya dongeng-dongeng yang diceritakan nenek. Sampai kapan kamu akan menunggu pangeran berkuda putih, sampai kapan pun tidak akan pernah ada lelaki sempurna seperti impianmu itu.” Nasihat ibu.
Selalu begitu, wejangan itu bahkan sudah aku hapal betul. Hingga titik dan komanya. Bahkan, intonasi dan jeda kalimatnya. Aku sudah paham sekali.
Jika ibu bertanya tentang mengapa aku masih betah menyendiri, selalu menolak bila ada lelaki yang datang, dan kapan akan menikah. Lalu, aku dengan tegas menjawab, “Belum bertemu yang pas dan sreg di hati, aku ingin suami yang romantis, senang melucu, perhatian, sederhana, sholeh, mampu menjadi imam, dan sejuta kriteria lainnya.” Maka, kata-kata wejangan itu akan meluncur dengan indahnya secepat kilat, bagai roller coaster dari mulut ibu.
Aku memang pernah menemukan satu sosok lelaki seperti itu. Tapi, ah sudahlah. Aku tidak mau menceritakannya. Biarlah memori aku tentang lelaki idaman itu tenggelam bersama kenangan dan muncul saat lingerie berwarna merah jambu itu aku pakai.
Saat ini, aku sudah memutuskan menerima Mas Teguh sebagai suami.
Tentu saja, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Satu yang paling utama bagiku saat ini. Meskipun ada sejuta kekurangan, tapi Mas Teguh tidak pernah menyakiti hatiku. Baik dengan kata-kata kasar, main fisik, dan menduakan. Dia termasuk kategori suami setia. Itu saja, bagiku sudah cukup. Kini, aku fokus menjadi istri yang sholehah untuk dia.
|Di jalan, sebentar lagi tiba, tolong siapkan air mandi!|
Whatssapp yang ku tunggu-tunggu muncul. Ya, aku menjawab dalam hati. Mas Teguh tidak suka bila pesannya dibalas. Dibaca saja sudah cukup bagi dia. Lebih epektif. Itu selalu katanya.
“Pesan dari aku jangan dibalas, baca saja. Aku yakin kamu pasti paham dan akan melakukannya.”