Banyak orang mengklaim bahwa, merayakan Idul Fitri tanpa membeli baju lebaran itu tidak afdol ibarat sayur tanpa garam. Rasanya hambar, benar gak sih? Padahal, sejatinya makna dari pelaksanaan puasa itu, sesuai dengan arti shaum secara bahasa, yaitu imsak (menahan diri).
Tentu saja, menahan diri dari segala macam bentuk godaan, ya. Bukan hanya makan dan minum saja. Termasuk juga godaan untuk membeli baju baru dan segala peralatan baru lainnya.
Satu bulan lamanya kita melaksanakan ibadah puasa, dengan menahan lapar dan dahaga, serta menjauhi hal-hal yang akan merusak pahala puasa tersebut.
Saat berbuka adalah merupakan waktu yang senantiasa dinanti-nanti oleh umat Islam yang melaksanakan puasa. Bahkan, saking ditunggunya. Peribahasa, Rindu Adzan Maghrib hanya akan ditemui di bulan ini saja, lho.
Begitu pun dengan hari raya Idul Fitri. Semua orang merindukannya. Lebaran merupakan momentum untuk saling memaafkan, melebur segala dosa dan kekhilapan diri dengan bersalaman di antara sesama kita. Walau, belum dapat dipastikan, apakah Ramadhan tahun 2022 ini, kita bisa ber-mushafahah (bersalaman) atau masih harus disiplin menjaga protokol kesehatan.
Jadi merupakan sesuatu hal yang wajar, jika semua umat Islam menyambut hari yang fitrah ini dengan antusias. Termasuk mempersiapkan pakaian terbaik yang akan dikenakan di hari tersebut.
Membeli Baju Lebaran sebagai Sebuah Trend
Segala sesuatu yang sedang ramai diperbincangkan, menjadi pusat perhatian, dan banyak digunakan itulah makna dari trend. Hal ini berkaitan erat dengan pola perilaku masyarakat menyikapi fenomena yang muncul dalam kehidupannya. Selain itu, trend juga dipengaruhi oleh waktu, momen, dan kesempatan.
Trend terkadang muncul diakibatkan oleh perilaku masyarakat yang bertindak, dan melakukan sesuatu, umpama mengikuti gaya berbusana, makanan, teknologi, dan lain-lain.
Tindakan tersebut dilakukan tanpa dilandasi analisis dan pemikiran yang tajam. Akhirnya, lebih mengarah ke perilaku ikut-ikutan. Orang memakai baju seperti ini, kita ikut membeli baju seperti itu.
Orang ramai membahas masalah anu, kita juga ikut-ikutan membahas masalah tersebut. Jika kita sering mengatakan sesuatu, menggunakannya. Maka, secara otomatis perilaku tersebut akan dominan mempenagaruhi pikiran kita.
Umpama, saat lebaran membeli baju sering menjadi topik perbincangan di mana-mana. Baik di kantor, lingkungan tetangga, rumah, pasar, bahkan di mesjid saat sedang sholat tarawih. Hal tersebut juga hampir dibicarakan oleh semua orang, dari semua kalangan. Baik atas, menengah, dan bawah.
Maka, meskipun pada awalnya kita tidak ingin terjebak pada perilaku ikut-ikutan dan fenomena trend. Akhirnya, tiba di rumah saat sedang sendiri atau merefleksi diri. Hal tersebut akan terpikirkan juga, "Oh, iya beli baju lebaran yang bagus, dimana ya?" Nah, lho terpengaruh juga kan.
Sebenarnya, bukan hanya perilaku ikut-ikutan saja yang menjadi penyebab suatu hal menjadi trend. Ternyata, sisi psikologis manusia yaitu perasaan takut tidak diakui juga turut menyumbang andil. Sehingga dengan persepsi yang muncul dalam pikiran kita seperti itu.
Maka, tanpa berpikir panjang kita pun mengikuti yang dilakukan orang lain, dengan maksud agar mendapat pengakuan, diterima, dan menjadi bagian dari lingkaran sosial tersebut.
Hal lainnya yang menjadi penyebab munculnya trend adalah sikap kepo atau rasa ingin tahu yang sangat besar pada masyarakat kita. Sehingga bila ada suatu hal yang dirasa unik dan banyak diperbincangkan, orang dengan rasa ingin tahu yang tinggi akan ikutan nimbrung berpartisipasi.
Asal-Muasal kebiasaan Membeli Baju Lebaran
Pertama-tama mari kita lihat, dari manakah gerangan asal kebiasaan ini. Dalam buku sejarah nasional Indonesia karya Maryati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto diperoleh keterangan bahwa, asal mula tradisi membeli baju lebaran itu dari daerah Kesultanan Banten.
Kita semua tahu, Banten merupakan wilayah bernuansa Islam yang amat kental. Bukan hanya Kesultanan Banten, hampir di beberapa daerah yang nafas keislamannya kental, seperti Kerajaan Mataram dan Yogyakarta. Tradisi membeli baju lebaran ini juga ditemukan.
Untuk menyambut hari raya, beberapa hari sebelumnya masyarakat ketiga daerah tersebut berbondong-bondong mendatangi pasar dan tukang jahit. Mereka membeli baju yang sudah jadi dari pasar, atau membeli kain dan memakai jasa penjahit untuk membuatkan baju yang pantas dipakai saat hari raya.
Bila kondisi keuangan tidak memungkinkan untuk membeli baju baru atau menjahit. Beberapa dari masyarakat tersebut, terutama yang memiliki keterampilan menjahit. Mereka beralih profesi menjadi penjahit dadakan. Selain menjahit baju untuk sendiri dan keluarga. Momen tersebut dimanfaatkan juga untuk mencari tambahan penghasilan dengan menerima jahitan dari orang lain.
Tradisi membeli baju lebaran bahkan disebutkan dalam buku tersebut, sudah ada sejak tahun 1950. Jadi, saat ini kita hanya tinggal meneruskan saja, ya. Melanjutkan sebuah tradisi yang diwariskan secara turun-temurun dalam bentuk perilaku sosial.
Menyambut Hari Raya dengan Meriah
Sebenarnya, niat awal dari kemunculan trend membeli baju lebaran itu bagus sekali. Esensinya yaitu menyambut hari raya dengan meriah. Bukankah Rasulullah juga telah menganjurkan dan mengajarkan kepada umatnya melalui sebuah hadits yang berbunyi :
Diriwayatkan dari Al-Hasan bin Ali RA. ia berkata, "Rasulullah SAW telah memerintahkan kami pada dua hari raya agar memakai pakaian terbaik yang kami temukan." (HR. Al-Baihaqi dan Al-Hakim).
Ada beberapa hadits lagi yang isinya menganjurkan untuk mengenakan pakaian terbaik saat hari raya. Namun, tidak akan disampaikan di sini. Pada intinya, trend membeli baju lebaran ini memiliki hikmah yang amat agung.
Pertama, sebagai perwujudan rasa syukur kita kepada Allah SWT, atas semua anugerah dan karuni-Nya, sehingga kita dapat bertemu dengan bulan Ramadhan. Lalu setelahnya, diberi kesempatan untuk merayakan lebaran dalam keadaan sehat.
Kedua, mengagungkan hari raya dan malaikat yang konon bersama-sama dengan kita, berada di majlis tersebut ikut merayakan hari yang agung tersebut.
Jika kita pernah membaca sebuah artikel yang dimuat oleh Outward Appearances, berjudul Sarung, Jubah, dan Celana : Penampilan sebagai Sarana Pembeda Diskriminasi. Tentu saja, kita akan mengetahui bahwa kebiasaan masyarakat pribumi membeli baju pada saat lebaran pernah dikecam oleh pemerintahan Belanda yang berkuasa di tanah air kita saat itu.
Ada dua pejabat kolonial yang secara terangan-terangan melontarkan kritik atas tradisi tersebut. Kees van Dijk -politikus Belanda, sebagai penulis menyebut bahwa alasan dibalik kecaman tersebut adalah karena pembelian baju berpotensi mengeluarkan banyak biaya.
Kedua pejabat tersebut adalah De Wolf -Pejabat Hindia Belanda, dan Steinmetz -Residen Semarang. Mereka mengatakan bahwa pembelian baju baru dan kebiasaan-kebiasaan lain yang dilakukan masyarakat pribumi saat menyambut lebaran, merupakan bencana ekonomi.
Maksudnya adalah kerugian dan dampak finansial dalam bidang ekonomi. Karena belanja hal-hal seperti itu akan menyedot kemampuan perekonomian, dan cadangan finansial masyarakat.
Kecaman tersebut juga ditujukan kepada para bupati, kepala wilayah, dan pamongpraja bumiputera saat itu. Lantaran untuk membeli baju lebaran dan tektek-bengeknya itu, mereka menggunakan dana dari pemerintah.
Nah, saat ini kita membeli baju baru dan segala hal lainnya untuk lebaran itu menggunakan uang pribadi, hasil keringat kita sendiri. Tanpa menggunakan dana dari pemerintah. Jadi, kita sudah aman, ya. Tidak akan menyebabkan bencana ekonomi.
Jawabannya tetap saja menimbulkan bencana ekonomi. Bila kita mengikuti trend belanja baju lebaran tersebut secara membabi buta, dan tidak rasional, apalagi sampai kalap diskon.
Maka, langkah bijaknya adalah sesuaikan gaya dengan kemampuan kita. Karena, Rasullullah juga menyarankan memakai baju terbaik yang kamu miliki, bukan baju baru. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H