Ada dua pejabat kolonial yang secara terangan-terangan melontarkan kritik atas tradisi tersebut. Kees van Dijk -politikus Belanda, sebagai penulis menyebut bahwa alasan dibalik kecaman tersebut adalah karena pembelian baju berpotensi mengeluarkan banyak biaya.
Kedua pejabat tersebut adalah De Wolf -Pejabat Hindia Belanda, dan Steinmetz -Residen Semarang. Mereka mengatakan bahwa pembelian baju baru dan kebiasaan-kebiasaan lain yang dilakukan masyarakat pribumi saat menyambut lebaran, merupakan bencana ekonomi.
Maksudnya adalah kerugian dan dampak finansial dalam bidang ekonomi. Karena belanja hal-hal seperti itu akan menyedot kemampuan perekonomian, dan cadangan finansial masyarakat.
Kecaman tersebut juga ditujukan kepada para bupati, kepala wilayah, dan pamongpraja bumiputera saat itu. Lantaran untuk membeli baju lebaran dan tektek-bengeknya itu, mereka menggunakan dana dari pemerintah.
Nah, saat ini kita membeli baju baru dan segala hal lainnya untuk lebaran itu menggunakan uang pribadi, hasil keringat kita sendiri. Tanpa menggunakan dana dari pemerintah. Jadi, kita sudah aman, ya. Tidak akan menyebabkan bencana ekonomi.
Jawabannya tetap saja menimbulkan bencana ekonomi. Bila kita mengikuti trend belanja baju lebaran tersebut secara membabi buta, dan tidak rasional, apalagi sampai kalap diskon.
Maka, langkah bijaknya adalah sesuaikan gaya dengan kemampuan kita. Karena, Rasullullah juga menyarankan memakai baju terbaik yang kamu miliki, bukan baju baru. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H