Mohon tunggu...
Isur Suryati
Isur Suryati Mohon Tunggu... Guru - Menulis adalah mental healing terbaik

Mengajar di SMPN 1 Sumedang, tertarik dengan dunia kepenulisan. Ibu dari tiga anak. Menerbitkan kumpulan cerita pendek berbahasa Sunda berjudul 'Mushap Beureum Ati' (Mushap Merah Hati) pada tahun 2021. Selalu bahagia, bugar dan berkelimpahan rejeki. Itulah motto rasa syukur saya setiap hari.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Artikel Utama

Kebiasaan Mengumpulkan Makanan untuk Buka Puasa, Bolehkah?

1 April 2022   14:45 Diperbarui: 9 April 2022   08:00 3080
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mengumpulkan makanan untuk berbuka | (Shutterstock via kompas.com)

Sesuatu hal, perbuatan, dan kegiatan, bila dilaksanakan secara rutin dan konsisten. Maka, akan menjadi sebuah kebiasaan. Hal tersebut berlaku pula bagi kegiatan mengumpulkan makanan untuk berbuka puasa. Hayok siapa yang memiliki kebiasaan ini? ngaku saja, ya. Jangan takut, kamu tidak sendirian.

Karena, ternyata kebiasaan membeli beragam makanan dengan tujuan untuk disantap ketika berbuka puasa ini mayoritas dilakukan oleh masyarakat Indonesia, lho. Terutama di kalangan usia dewasa, remaja, dan anak-anak.

Jadi, jangan heran, ya 1-2 jam menjelang berbuka, jalanan akan macet total. Orang-orang pada keluar rumah, kendaraan lalu-lalang, dan para pedagang menangguk rejeki dikerumuni oleh para pembeli. Sungguh sebuah pemandangan yang hanya terjadi satu tahun sekali. 

Nostalgia masa kanak-kanak

Teringat masa kecil dahulu, walau tinggal di kampung yang sepi. Pasar desa hanya ada satu kali dalam seminggu, yaitu hari Rabu saja. Penjual takjil nyaris tidak ada, kami sekeluarga berbuka dan makan seadanya saja. 

Namun, kebiasaan mengumpulkan makanan sudah familiar, ya. Hal tersebut merupakan keasyikan tersendiri. Bahkan saat kesederhanaan menyelimuti masa kecil yang serba minim dan kekurangan. 

Sambil menggembala kambing ke tanah lapang, saya menyabit rumput di hutan yang terletak di pinggir lapangan rumput. Saya dan teman-teman mencongkel umbi temu kunci yang banyak tumbuh di bawah pohon bambu. Kami melakukan itu agar mendapat uang untuk membeli makanan takjil nanti pada hari pasaran, yakni hari Rabu.

Satu minggu, saya mengumpulkan umbi kunci, hingga terkumpul satu karung. Setelah itu, kami menjualnya ke pengepul. Harga satu kilogram temu kunci pada tahun 1990 adalah Rp. 500., satu karung adalah kurang lebih beratnya 25 kilogram. Lumayan dalam satu minggu, saya mendapat uang sekitar Rp. 12.500., jumlah yang lumayan besar, ya bagi anak-anak usia sekolah dasar.

ilustrasi menggembala kambing |Favim.com
ilustrasi menggembala kambing |Favim.com

Setelah transaksi menjual umbi kunci selesai, lalu mendapatkan uangnya. Bersama teman-teman sepermainan, saya membelanjakan uang tersebut di pasar Rabu. 

Membeli makanan yang sudah diidam-idamkan dalam satu minggu itu. Umpama kue serabi Mak Acih yang dibanjur sambal bawang tomat, wuih rasanya muantep pisan. Setelah membeli dua biji kue serabi seharga Rp. 500., per bijinya.

Perjalanan mengumpulkan makanan, saya lanjutkan ke tukang martabak pasar. Itu tuh martabak yang dicetak dalam loyang bulat berdiameter 5 cm, topingnya gula putih saja. 

Lalu, martabak yang sudah matang, dengan aroma manis gula yang lembut dan enak itu ditangkupkan, dan dipotong-potong menjadi 5 kerat. Setelah itu dibungkus dengan kertas koran.

Selain dua penganan tersebut, saya dan teman-teman adalah pelanggan setia es cendol Mang Dodo. Pada tahun 90-an nama beliau begitu melegenda di kampung saya. 

Mengapa? Karena es cendolnya yang berwarna merah muda dan hijau, berbentuk seperti cacing, pendek namun agak gemuk, dibanjur dengan santan kental dan air kinca dari gula kawung. Rasanya selalu nampol, tidak ada duanya.

Maka, saya dan teman-teman harus tepat waktu mencegatnya. Jam berapa kira-kira Mang Dodo lewat di depan rumah. Telat sedikit saja, alamat tidak akan kebagian legit dan segarnya es cendol yang legend tersebut. Sehat-sehat, ya Mang Dodo. Sudah lama kita tidak bersua.

Selain mengumpulkan makanan untuk berbuka, yang waktunya hanya seminggu sekali, pada hari Rabu saja. Hari-hari lain, saya dan teman-teman juga tetap mengumpulkan makanan. 

Tapi, bukan dengan cara membeli dari pasar. Melainkan mengambilnya dari hutan, makanan berupa buah-buahan. Umpama buah kupa (anggur hutan), buah bery hutan, manis mata, ceplukan (cecendet), jambu batu, dan kapol (buah kapulaga). 

Bersifat Universal

Kehidupan yang serba kekurangan saat itu, memberikan banyak pelajaran dan hikmah tentang kesederhanaan. Bahwa, meskipun hidup di desa, ternyata saya juga memiliki kebiasaan mengumpulkan makanan, sama seperti anak-anak yang hidup di kota.

Hanya mungkin yang berbeda adalah jenis makanan yang dikumpulkannya saja. Hal ini menunjukkan bahwa kebiasaan mengumpulkan makanan untuk berbuka adalah tradisi yang bersifat universal, umum, dan konsep yang dipercaya dan dimiliki oleh semua manusia. Tanpa membedakan tempat tinggal, status, suku, dan tingkat finansial.

Kebiasaan mengumpulkan makanan untuk berbuka, tidak hadir dan muncul begitu saja, ya. Tentu saja, ada mata rantai yang panjang yang sudah dilalui, proses yang berjalinkelindan antara adat, kebiasaan, dan sistem kehidupan masyarakat. 

Satu hal yang pokok, menurut hemat saya menjadi faktor utama lahirnya kebiasaan ini adalah sisi psikologis manusia yang selalu merasa khawatir, dan takut bila kekurangan makanan.

Dengan mengumpulkan makanan, mereka merasa aman, nyaman, dan tenang. Oleh karena itu, walau saat berbuka, makanan yang dikumpulkan tersebut tidak 'kemakan' hingga akhirnya mubadzir dan terbuang. Namun, tetap saja, keesokan harinya ia berjuang lagi, berburu lagi, dan lagi-lagi mengumpulkan makanan. 

Selain faktor psikologi manusia yang selalu ketakutan bila kekurangan makanan. Ada faktor lain yang disinyalir menjadi pemicu hadirnya perilaku atau kebiasaan mengumpulkan makanan untuk berbuka puasa. Apa saja?

Ngabuburit

Istilah ngabuburit berasal dari bahasa Sunda, artinya ngalantung ngadagoan burit, atau bersantai sambil menunggu tibanya waktu sore, senja. Bila makna ngabuburit ini dipersempit, karena hadirnya kata ini populer saat Ramadhan saja. Maka, ngabuburit dapat diartikan sebagai kebiasaan jalan-jalan, santai-santai sambil menunggu waktu berbuka puasa. 

ilustrasi ngabuburit |Geotimes.id
ilustrasi ngabuburit |Geotimes.id

Mungkin ada yang bertanya, kapan sebenarnya waktu yang tepat untuk ngabuburit? Bila dimaksudkan menunggu buka puasa, atau menunggu beduk magrib berbunyi. 

Tentu saja, waktunya ngabuburit ini hanya beberapa jam saja sebelum beduk berbunyi, ya. Umpama pada pukul 15.30-17.30. Karena, tidak etis saja, bila ngabuburit dimulai dari pagi hari, atau siang hari, kelamaan menunggunya.

Nanti keburu capek dan lapar, malah jadi membatalkan puasa. Ngabuburit harus berisi aktivitas ringan, yang tidak menguras tenaga. Alangkah lebih baiknya, bila kaum millenials mengisi acara ngabuburit dengan taklim, kajian, dan tadarus Al-Qur'an, ya. Agar puasa kita semakin terasa makna dan pahalanya.

Nah, apa hubungannya kebiasaan ngabuburit dengan perilaku mengumpulkan makanan untuk berbuka. Ya, tidak elok saja, bila kita jalan-jalan ke luar rumah, saat pulang tidak bawa apa-apa. Padahal, di sepanjang jalan banyak penjual makanan takjil. Itu mungkin alasan yang tepat. Amat wajar dan masuk akal, ya.

Karena, memang sudah menjadi karakter orang Indonesia, tidak enakan. Selalu saja, ingin menyenangkan keluarga dengan membawakan makanan dari luar, saat pulang ke rumah.

Pedagang takjil

Ramadhan diyakini menjadi berkah tersendiri bagi para pedagang, terutama penjual makanan. Karena, perputaran uang pada bulan ini nampak sangat lancar, melimpah, dan mengalir seperti air sungai. Setiap orang melakukan transaksi, dan membelanjakan uangnya. Yakin deh, hampir semua orang pada bulan ini, pengeluaran hariannya lebih banyak untuk sektor makanan. 

Berkah lainnya adalah saat bulan puasa datang, bermunculan para penjual takjil dadakan. Mengapa disebut dadakan? Karena, pedagang ini muncul hanya saat bulan puasa saja.

 Pada bulan-bulan lain mereka berjualan barang yang berbeda, bukan takjil. Beragam makanan dijajakan di lapak pedagang takjil, umpama kolak, gorengan, jajanan pasar, kue-kue kering, kue basah, hingga jajanan ala rumahan pun tersedia. Selain itu, restoran, rumah makan, warung nasi, dan penjual masakan pun meraup untung yang cukup lumayan saat Ramadhan.

ilustrasi pedagang takjil |Liputan6.com
ilustrasi pedagang takjil |Liputan6.com

Hal tersebut terjadi, karena, banyak ibu-ibu rumah tangga yang memilih membeli makanan yang sudah jadi saja untuk berbuka. Daripada, repot-repot memasak, tapi tidak dimakan, bersisa dan terbuang percuma. Padahal, biaya, tenaga, dan waktu untuk memproses bahan makanan tersebut menjadi masakan yang lezat tidak sedikit.

Jadi, dengan alasan demi kewarasan mental, kepraktisan, dan hemat waktu dan tenaga. Membeli masakan dari restoran adalah merupakan pilihan yang bijak, menurut saya. Apalagi, bila ibu rumah tangga adalah wanita bekerja. Tentu saja, tidak cukup waktu untuk mempersiapkan semua itu.

Nah, perilaku mengumpulkan makanan terjadi, saat ibu rumah tangga merasa kebingungan menentukan menu, ditambah lagi selera anggota keluarga berbeda-beda. 

Umpama ayah suka kepala kakap dan es campur, ibu suka sayur sop dan kolak pisang, kakak suka iga bakar dan es boba, tengah suka pesmol ikan dan es teh manis, dan adik suka sayur sop dan es sirup. Maka, dapat dipastikan akan banyak makanan yang terkumpul di rumah.

Pada akhirnya, karena tidak habis dalam sekali konsumsi. Apalagi jika anggota keluarga, memiliki kebiasaan memakan makanan yang segar, dan tidak suka dihangatkan. Dapat dipastikan, bahwa sisa dari makanan-makanan yang sudah dibeli tadi menjadi terbuang percuma. Wah, sayang uangnya, ya.

Buka puasa bersama

Acara buka puasa bersama, sebenarnya positif ya. Dapat meningkatkan kebersamaan, dan mempererat tali shilaturrahmi antar sesama. Ada nilai dan pahala sedekah, serta kesetiakawanan sosial juga yang terkandung dalam kegiatan tersebut. 

Apalagi bila acara buka puasa bersama, diisi dengan acara kultum (kuliah tujuh menit) tadarus dan sholat magrib berjamaah. Bukan hanya acara makan saja, ya. 

Namun, ada yang saya tidak suka dari kegiatan buka puasa bersama tersebut, yaitu mubazir makanan. Saat semua makanan dengan beragam menu dipesan. Lalu, terdengar suara adzan magrib, semua orang sibuk dan fokus dengan makanan di hadapannya. Karena, merasa lapar, mengambil terlalu banyak, lalu tiba-tiba saja sudah merasa kenyang.

Sedangkan, makanan di piring masih bertumpuk. Di situlah awal mula terjadinya perilaku mengumpulkan makanan, lalu terbuang sia-sia menjadi sampah. 

ilustrasi berbuka puasa |Suara.com
ilustrasi berbuka puasa |Suara.com

Padahal, di luaran sana, masih banyak orang yang mengais-ngais tempat sampah, mencari sisa-sisa makanan untuk sekedar menegakkan perut. Bagi mereka, sebutir nasi, dan secuil makanan amat berharga. 

Sedangkan, di dalam restoran makanan begitu beragam, lezat, dan enak. Namun, tidak dihargai keberadaannya. Menumpuk, sedikit saja yang dimakan, lalu teronggok di tempat sampah. 

Membicarakan buka puasa bersama dengan makanan yang mubazir. Saya jadi teringat kisah tentang makan di restoran Jerman. Bahwa, untuk mengantisipasi tingginya sampah makanan sisa yang terbuang dari restoran dan rumah-rumah makan. 

Maka, restoran-restoran di Jerman memberlakukan denda bagi konsumen yang menyisakan makanan. Hal itu diberlakukan agar setiap konsumen memesan makanan sesuai kapasitas perutnya, tidak berlebihan, yang nantinya mengakibatkan banyak makanan terbuang. Wah, ide bagus, ya.

Lapar mata

Para perencana finansial mengatakan, jangan belanja saat perutmu kosong, karena akan memicu lapar mata. Nah, jika kamu ngabuburit, jalan-jalan santai sambil melihat-lihat barang, makanan, dan pakaian. 

Maka sudah tentu kamu akan membeli semua barang yang dilihat dan diinginkan. Karena, kondisi perut kamu saat itu sedang kosong. Belanja dalam keadaan tersebut akan menyebabkan dorongan impulsif dan konsentrasi terpecah.

Lapar mata membuat seseorang kehilangan kemampuan untuk fokus dan berpikir jernih. Saat perut lapar, seseorang tidak bisa menimbang mana barang yang dibutuhkan, dan hanya sekedar keinginan. Apalagi keinginan berbelanja pada barang berupa makanan.

Ketika lapar, seseorang akan cenderung membeli banyak makanan yang tinggi kalori dan tidak sehat. Jadi, jangan lama-lama ya ngabuburit melihat-lihat lapak pedagangnya, cukup 1,5 jam saja. Agar kamu tidak terjatuh pada kebiasaan mengumpulkan makanan. 

Bolehkah mengumpul-ngumpul makanan untuk berbuka?

Islam menjawab pertanyaan di atas dengan contoh yang diberikan Rasulullah SAW, sebagai tauladan dan junjungan kita. Apa yang dilakukan Rasulullah SAW, saat berbuka puasa. Beliau menunjukkan adab berbuka puasa dengan makan kurma dengan jumlah ganjil, umpama 1, 3, 5, 7, dan seterusnya. Lalu, minum air putih. 

Ini adalah makanan pembuka yang sangat bagus dan dianjurkan. Mengapa? karena, kandungan glukosa pada kurma dan air putih akan membantu tubuh manusia yang seharian berada dalam kondisi kosong tanpa asupan makanan. Mendapatkan kembali energi dan asupan makanannya. Sehingga, badan akan kembali pulih dan mendapatkan asupan cairan yang sangat diperlukan. 

Kurma dan air mengandung gizi seimbang. Tidak kurang, dan tidak terlalu kuat. Coba bandingkan jika kamu berbuka puasa dengan makanan yang berkalori tinggi, pedas, asam, dan dingin. Maka, dapat dipastikan perut kamu akan terasa sakit, perih, dan panas.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh para ahli kesehatan. Makan berlebihan saat berbuka puasa akan menyebabkan seorang menderita obesitas dan kolesterol tinggi. 

Apalagi, jika makanan yang dikonsumsi tidak sehat, mengandung lemak tak jenuh, dan berkalori tinggi. Puasa yang pada hakikatnya menyehatkan. Bila tidak diiringi dengan pola makan yang baik. Tentu saja, akan mendatangkan kerugian, dalam aspek kesehatan. 

Jadi, cukup berbuka dengan kurma dan air saja dulu, ya. Setelah sholat magrib dan tarawih barulah kita makan utama. Jangan mengumpul-ngumpul makanan, jatuhnya pada mubadzir dan sia-sia. 

Sedangkan perilaku sia-sia adalah perilaku setan. Setuju tidak nih? Saya akan akhiri artikel ini dengan sebuah kutipan, orang yang merasa cukup dan tidak berlebih-lebihan dalam hidup adalah orang yang Qona'ah. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun