Lalu, martabak yang sudah matang, dengan aroma manis gula yang lembut dan enak itu ditangkupkan, dan dipotong-potong menjadi 5 kerat. Setelah itu dibungkus dengan kertas koran.
Selain dua penganan tersebut, saya dan teman-teman adalah pelanggan setia es cendol Mang Dodo. Pada tahun 90-an nama beliau begitu melegenda di kampung saya.Â
Mengapa? Karena es cendolnya yang berwarna merah muda dan hijau, berbentuk seperti cacing, pendek namun agak gemuk, dibanjur dengan santan kental dan air kinca dari gula kawung. Rasanya selalu nampol, tidak ada duanya.
Maka, saya dan teman-teman harus tepat waktu mencegatnya. Jam berapa kira-kira Mang Dodo lewat di depan rumah. Telat sedikit saja, alamat tidak akan kebagian legit dan segarnya es cendol yang legend tersebut. Sehat-sehat, ya Mang Dodo. Sudah lama kita tidak bersua.
Selain mengumpulkan makanan untuk berbuka, yang waktunya hanya seminggu sekali, pada hari Rabu saja. Hari-hari lain, saya dan teman-teman juga tetap mengumpulkan makanan.Â
Tapi, bukan dengan cara membeli dari pasar. Melainkan mengambilnya dari hutan, makanan berupa buah-buahan. Umpama buah kupa (anggur hutan), buah bery hutan, manis mata, ceplukan (cecendet), jambu batu, dan kapol (buah kapulaga).Â
Bersifat Universal
Kehidupan yang serba kekurangan saat itu, memberikan banyak pelajaran dan hikmah tentang kesederhanaan. Bahwa, meskipun hidup di desa, ternyata saya juga memiliki kebiasaan mengumpulkan makanan, sama seperti anak-anak yang hidup di kota.
Hanya mungkin yang berbeda adalah jenis makanan yang dikumpulkannya saja. Hal ini menunjukkan bahwa kebiasaan mengumpulkan makanan untuk berbuka adalah tradisi yang bersifat universal, umum, dan konsep yang dipercaya dan dimiliki oleh semua manusia. Tanpa membedakan tempat tinggal, status, suku, dan tingkat finansial.
Kebiasaan mengumpulkan makanan untuk berbuka, tidak hadir dan muncul begitu saja, ya. Tentu saja, ada mata rantai yang panjang yang sudah dilalui, proses yang berjalinkelindan antara adat, kebiasaan, dan sistem kehidupan masyarakat.Â
Satu hal yang pokok, menurut hemat saya menjadi faktor utama lahirnya kebiasaan ini adalah sisi psikologis manusia yang selalu merasa khawatir, dan takut bila kekurangan makanan.
Dengan mengumpulkan makanan, mereka merasa aman, nyaman, dan tenang. Oleh karena itu, walau saat berbuka, makanan yang dikumpulkan tersebut tidak 'kemakan' hingga akhirnya mubadzir dan terbuang. Namun, tetap saja, keesokan harinya ia berjuang lagi, berburu lagi, dan lagi-lagi mengumpulkan makanan.Â