Mohon tunggu...
Isur Suryati
Isur Suryati Mohon Tunggu... Guru - Menulis adalah mental healing terbaik

Mengajar di SMPN 1 Sumedang, tertarik dengan dunia kepenulisan. Ibu dari tiga anak. Menerbitkan kumpulan cerita pendek berbahasa Sunda berjudul 'Mushap Beureum Ati' (Mushap Merah Hati) pada tahun 2021. Selalu bahagia, bugar dan berkelimpahan rejeki. Itulah motto rasa syukur saya setiap hari.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Trauma dengan Salah Satu Fasilitas Kesehatan, Apakah Ada Obatnya?

6 Februari 2022   12:44 Diperbarui: 6 Februari 2022   12:51 573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi layanan fasilitas kesehatan |Pexels.com/Andrea Piacquadio

Pelayanan untuk pasien askes kurang maksimal

Sejujurnya, kalau dibilang kapok sih mungkin tidak, ya. Untuk menggunakan layanan fasilitas kesehatan di rumah sakit. Secara, asuransi kesehatan saya sekeluarga rujukannya di rumah sakit tersebut. Saya juga tidak tahu, kan suatu saat akan membutuhkan lagi layanan dari fasilitas kesehatan itu. Kondisi sakit terkadang datang tanpa bisa diprediksi. Meskipun kita merasa sudah menjaga kesehatan dengan baik. Tetap saja, bila sudah takdir. Sakit itu akan hinggap juga pada kita, dan anggota keluarga. 

Namun, sejak beberapa kali kecewa, saya jadi trauma dan merasa kalau tidak terpaksa-paksa sekali, enggan untuk berobat ke rumah sakit. Saya lebih memilih untuk berobat ke dokter spesialis, biarlah bayar agak mahal. Tapi, pelayanannya bagus, profesional, dan tempatnya nyaman. Walau harus antre lama, dan bayarnya double, untuk biaya pemeriksaan dokter dan obat. 

Mungkin ada pertanyaan, kalau begitu percuma dong bayar asuransi kesehatan. Kalau tidak digunakan? Bagi saya sekeluarga, pelayanan yang bagus adalah utama. Entah mengapa, kalau berobat dengan menggunakan biaya dari asuransi kesehatan. Kok, pelayanannya seperti tidak serius, dan asal-asalan. Terkadang, saya merasa seperti sedang mengemis, meminta-minta, dan menghiba. Tidak tahu kepada siapa, ya. Padahal, asuransi juga kan bayar, ya. Tidak gratis tis tis. Entahlah, mungkin itu hanya perasaan saya saja. 

Beberapa kali kecewa

Bukan satu kali, saya mengalami kecewa dengan layanan rumah sakit. Namun, beberapa kali. Sehingga, efeknya jadi traumatis.

Pertama kali menggunakan layanan rawat inap alias opname di rumah sakit, pada tahun 2008. Saat Si sulung step alias kejang karena demam tinggi. Saat itu, saya panik sekali. Di rumah tidak ada siapa pun yang dapat dimintai tolong. 

Suami kebetulan sedang ada tugas kantor, keluar kota. Ditolong oleh abang becak, saya berhasil membawa anak saya ke rumah sakit. Kami ditempatkan di unit gawat darurat untuk sementara. 

Si sulung saat itu baru berusia 8 bulan. Badannya panas tinggi, dan beberapa kali kejang. Saya sudah tidak tahu lagi, bagaimana perasaan saya saat itu. Sedih, khawatir, dan takut anak saya kenapa-kenapa berkecamuk jadi satu. 

Saking kalutnya, saya bahkan sampai lupa memakai jilbab. Jadi, hari pertama di rumah sakit, saya hanya memakai kaos oblong dan celana panjang, jarik buat menggendong itu saja. Dompet dan hand phone, lupa juga. Padahal, dua barang tersebut, amat berguna di saat-saat genting.

Kesedihan saya ditambah lagi dengan susahnya perawat memasang selang infus pada tangan anak saya. Tidak tahu penyebabnya apa. Mungkin, karena anak saya badannya lumayan gemuk, sehingga susah mencari urat nadi. Entahlah, yang jelas infus itu rombak pasang, lengan kiri, lengan kanan, kaki kiri, kaki kanan, bahkan hingga di kening. Saya sampai pusing sendiri melihatnya. Si sulung yang masih bayi rewel terus, dari bekas suntikan infus yang gagal tersebut keluar sedikit darah. 

Yang lebih menyedihkan adalah di dalam satu ruangan itu, saya berdesak-desakan dengan lima bayi lainnya. Beserta ibunya, tentu saja. Jadi, ruangan terasa pengap dan panas, meski memakai pendingin ruangan. 

Beberapa kali, hati saya merasa takut dan kacau. Saat melihat bayi, kondisi tubuhnya membiru, seperti akan gagal napas. Kata perawat, ibunya menyusui bayi tersebut sambil tidur, tidak sadar mulut bayi tertindih payu dara ibunya. 

Ada lagi, bayi yang mukanya tertusuk pecahan cermin. Darah bercucuran dari wajah dan tangannya. Kata perawat, bayi tersebut dibiarkan main sendiri di depan cermin yang disandarkan ke dinding, tanpa pengaman. Sedangkan sang ibu sibuk memasak di dapur, karena suaminya sebentar lagi akan pulang bekerja. Biasanya, suaminya akan marah-marah bila tiba di rumah, belum disiapkan makanan.

 Ah, ya Illahi. Mendengar cerita-cerita tersebut, perasaan saya menjadi negatif dan merasa trauma. Sebenarnya, saya tidak suka dengan kisah-kisah sedih. Apalagi kisah sedih tersebut nyata. Hingga tiga hari, dan si sulung diperbolehkan pulang dan melakukan rawat jalan. Saya sama sekali tidak pindah ke kamar perawatan. Dari pengalaman tersebut, saya baru tahu jika mendapatkan kamar perawatan itu, ternyata tidak gampang.

Kali kedua, saya berurusan dengan pihak rumah sakit, yaitu pada saat si bungsu yang baru lahir mengalami kuning. Dokter spesialis anak menyarankan untuk dirawat. Saya saat itu, sudah merasa parno dan overthinking. Karena, berbekal pengalaman pertama saat si sulung sakit. 

Wah, bakal susah mendapatkan kamar perawatan nih. Bagaimana, bayi baru beberapa hari. Kondisi saya saat itu juga masih sakit bekas melahirkan, belum pulih. Saya merasa tidak sanggup, jika pengalaman pertama berdesak-desakan di ruang unit gawat darurat harus terulang lagi. 

Saya meminta pada DSA agar dirawat di kliniknya saja. Namun, DSA memastikan bahwa di rumah sakit nanti saya akan mendapat kamar, "Saya yang kasih surat rujukan, ibu tenang saja. Tapi mungkin harus menunggu ada kamar kosong. Sesuai prosedur rumah sakit, lah. Itu kan rumah sakit milik pemerintah, bukan milik ibu, ... jadi menunggu beberapa saat di UGD gak apa-apa kok." Ucap DSA meyakinkan. 

Alhamdulillah, rujukan dari beliau bermanpaat sekali. Meski saya tidak mendapat ruang perawatan mandiri. Karena ternyata, si bungsu masuk ruang inkubator bersama beberapa bayi dengan kondisi sama, yaitu kuning. Saya diijinkan untuk istirahat di rumah, agar lebih cepat memulihkan kondisi. Pihak keluarga bergantian menunggu di rumah sakit, tidur di selasar atau lorong. 

Saya datang ke rumah sakit, hanya untuk memberikan ASI saja, itu pun dengan cara dipompa dan dimasukan ke dalam botol steril, tidak secara langsung diberikan pada bayi. Lima hari, si bungsu diinkubator, kondisinya terus membaik, kadar bilirubinnya sudah normal. DSA memperbolehkan kami pulang. 

Ketiga kalinya, saya kembali berurusan dengan fasilitas kesehatan sejuta umat ini. Saat Si tengah ada benjolan di leher. Pertama, saya kira gondongan. Kami membawanya ke dokter umum, diperiksa dan diberi obat. Namun, setelah tiga hari benjolan tersebut malah semakin membesar. Saya kembali pada dokter umum yang pertama kali kami kunjungi. Di sana, dokter tersebut menyarankan agar anak saya dirontgent hari itu juga. Lalu, hasilnya harus dibawa ke rumah sakit, menemui dokter spesialis bedah gigi dan mulut.

Nah, saya terkejut saat itu. Kaget dengan perkembangan penyakit si tengah, terus saya agak enggan juga untuk datang ke rumah sakit. Apalagi di masa pandemi. Harus antre dan berdesak-desakan. Namun, rasa sayang dan khawatir terhadap kesehatan anak, memaksa saya untuk menepis semua keengganan tersebut. Alhamdulillah, si tengah lumayan kooperatif dan mudah diarahkan. Dengan santainya dia mengikuti semua arahan dokter yang melakukan rontgen pada bagian leher dan gerahamnya. 

Keesokan harinya, saya antre di rumah sakit. Untuk memberikan hasil rontgent pada dokter bedah gigi dan mulut. Satu hari itu, suami dan saya bergantian menunggu antrian di rumah sakit. 

Pagi-pagi, saya sudah stand bye di rumah sakit, kebetulan memang sedang jadwal work from home. Sedangkan, suami sedang ada jadwal work from office. Jadi, dia yang bolak-balik dari kantor ke rumah sakit. Setelah menunggu begitu lama, hingga hampir saja saya menyerah. 

Akhirnya, pada pukul 3 sore, dokter memanggil saya dan si tengah. Saat membaca hasil rontgent, dokter mengatakan bahwa, anak saya terkena tumor submandibula. Dokter muda tersebut meminta saya untuk melakukan pemeriksaan ultra sonography (USG) agar penyakitnya kelihatan lebih jelas. Tanpa babibu lagi, hari itu juga saya membawa si tengah untuk di-USG. Tentu saja, dengan perasaan yang sukar untuk dilukiskan. Saya sudah kehilangan semua kesedihan. Saking karena, terlalu sedih, terlalu khawatir, dan terlalu-terlalu yang lainnya. 

Si tengah, mungkin sudah merasa, bahwa ada yang gawat pada kondisinya. Saat USG, dia meminta saya menemaninya. Ketika mesin USG mengenai bagian benjolan di lehernya, dia menangis. Saat itu, tangis saya pun pecah. Saya sudah tidak ingat lagi akan rasa malu. Bahkan dokter petugas USG mengatakan, "Tenang saja, Bu ... bisa disembuhkan, kok." 

Keesokan harinya, saya antre lagi di rumah sakit. Kali ini, tidak terlalu lama. Pukul 12, dokter sudah memanggil saya. Kali ini, si tengah sengaja tidak saya bawa, kasihan. Karena, USG kemarin mentalnya nampak agak tertekan. Saya biarkan dia bermain dengan teman-temannya. Agar sedikit dapat melupakan penyakitnya. Saat di ruangan, dokter menyarankan agar secepatnya, anak saya dioperasi di rumah sakit Hasan Sadikin, di Bandung. 

Dokter kembali membuat mental saya down. Beliau mengatakan, operasi ini hasilnya 50:50. Artinya, 50 persen sukses dan 50 persen gagal. Karena tumor ini berada di antara kelenjar air ludah. Posisinya sangat rumit dan berkaitan dengan saraf-saraf kecil pada tubuh. Jika, terlambat dioperasi, maka tumor akan semakin menyebar ke seluruh tubuh. Dampaknya, akan semakin susah untuk diobati dan sukar dikendalikan. 

Jika operasi, saya juga harus siap menerima ketika nantinya anak saya akan lumpuh. Mendengar hal tersebut, dunia terasa seakan runtuh. Setiap melihat benjolan di leher si tengah tersebut, saya merasa hancur. 

Setelah bermusyawarah dengan suami, saya memutuskan akan mencari second opinion dari DSA langganan. Alhamdulillah, beliau memberikan setitik harapan. Si tengah disuntik imunisasi, entah saya lupa lagi nama imunisasinya. Lalu diberi obat sangat banyak. Obat itu harus habis dalam dua minggu. Setelah itu, saya diminta konsul lagi. Jika benjolannya sudah mengecil. Langkah operasi tetap harus dilakukan, untuk membuang sel-sel tumor yang menempel di kelenjar ludah tersebut. 

Alhamdulillah, si tengah sekarang sudah sembuh, benjolannya kempes. Ternyata, tidak harus operasi dan hanya bisul biasa bukan tumor submandibula. Karena, setelah empat minggu, benjolan itu membesar, kemudian memerah, lalu bernanah, dan kemudian ambyar pecah. Setelah itu, kering sendiri dan mengempes sendiri. Saya tidak tahu, apakah diagnosa yang keliru. Tapi, saya sangat bersyukur, Allah masih memberikan kesembuhan pada anak saya. 

Apakah trauma rumah sakit ada obatnya

Saat ini saya mengalami sejenis trauma psikologis. Saya juga tidak tahu persis apakah trauma ini disebabkan oleh layanan kesehatan yang belum maksimal atau karena ketegangan-ketegangan dari sakitnya anak-anak. Saya tidak dapat memastikan. Berikut adalah beberapa gejala yang saya alami, diantaranya :

1. Tidak mau masuk ke rumah sakit. Bahkan, jika ada rekan, tetangga, keluarga, dan sanak saudara yang melahirkan atau dirawat di rumah sakit. Saya tidak pernah menjenguk ke rumah sakit. 

Saya merasa tidak mau saja. Hati kecil saya mengatakan, jangan! saya lebih nyaman menjenguk langsung ke rumahnya. Namun, ternyata pada saat pandemi, trauma saya ini mendapat pembenaran. Karena saat ini, menjenguk ke rumah sakit dilarang. Jadi, sedikitnya trauma saya itu menemukan alasannya.

2. Bila melihat bangunan rumah sakit tempat anak saya dirawat dulu. Jantung saya akan berdetak lebih kencang, keringat dingin di sekujur badan, napas tidak teratur, dan mual. Hati saya juga merasa tidak enak dan tidak tenang. Seakan-akan sesuatu yang buruk akan terjadi. Semua memori yang berkaitan dengan peristiwa tersebut saling berkelebat di dalam benak. Bagaimana saya membopong si sulung, memangku si bungsu, menuntun si tengah. Semua hal itu terasa diputar ulang seperti rekaman video kehidupan.

Nah, apakah hal tersebut ada obatnya? Salam hormat dan terima kasih. (*)

#Akses Kesehatan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun