Saking kalutnya, saya bahkan sampai lupa memakai jilbab. Jadi, hari pertama di rumah sakit, saya hanya memakai kaos oblong dan celana panjang, jarik buat menggendong itu saja. Dompet dan hand phone, lupa juga. Padahal, dua barang tersebut, amat berguna di saat-saat genting.
Kesedihan saya ditambah lagi dengan susahnya perawat memasang selang infus pada tangan anak saya. Tidak tahu penyebabnya apa. Mungkin, karena anak saya badannya lumayan gemuk, sehingga susah mencari urat nadi. Entahlah, yang jelas infus itu rombak pasang, lengan kiri, lengan kanan, kaki kiri, kaki kanan, bahkan hingga di kening. Saya sampai pusing sendiri melihatnya. Si sulung yang masih bayi rewel terus, dari bekas suntikan infus yang gagal tersebut keluar sedikit darah.Â
Yang lebih menyedihkan adalah di dalam satu ruangan itu, saya berdesak-desakan dengan lima bayi lainnya. Beserta ibunya, tentu saja. Jadi, ruangan terasa pengap dan panas, meski memakai pendingin ruangan.Â
Beberapa kali, hati saya merasa takut dan kacau. Saat melihat bayi, kondisi tubuhnya membiru, seperti akan gagal napas. Kata perawat, ibunya menyusui bayi tersebut sambil tidur, tidak sadar mulut bayi tertindih payu dara ibunya.Â
Ada lagi, bayi yang mukanya tertusuk pecahan cermin. Darah bercucuran dari wajah dan tangannya. Kata perawat, bayi tersebut dibiarkan main sendiri di depan cermin yang disandarkan ke dinding, tanpa pengaman. Sedangkan sang ibu sibuk memasak di dapur, karena suaminya sebentar lagi akan pulang bekerja. Biasanya, suaminya akan marah-marah bila tiba di rumah, belum disiapkan makanan.
 Ah, ya Illahi. Mendengar cerita-cerita tersebut, perasaan saya menjadi negatif dan merasa trauma. Sebenarnya, saya tidak suka dengan kisah-kisah sedih. Apalagi kisah sedih tersebut nyata. Hingga tiga hari, dan si sulung diperbolehkan pulang dan melakukan rawat jalan. Saya sama sekali tidak pindah ke kamar perawatan. Dari pengalaman tersebut, saya baru tahu jika mendapatkan kamar perawatan itu, ternyata tidak gampang.
Kali kedua, saya berurusan dengan pihak rumah sakit, yaitu pada saat si bungsu yang baru lahir mengalami kuning. Dokter spesialis anak menyarankan untuk dirawat. Saya saat itu, sudah merasa parno dan overthinking. Karena, berbekal pengalaman pertama saat si sulung sakit.Â
Wah, bakal susah mendapatkan kamar perawatan nih. Bagaimana, bayi baru beberapa hari. Kondisi saya saat itu juga masih sakit bekas melahirkan, belum pulih. Saya merasa tidak sanggup, jika pengalaman pertama berdesak-desakan di ruang unit gawat darurat harus terulang lagi.Â
Saya meminta pada DSA agar dirawat di kliniknya saja. Namun, DSA memastikan bahwa di rumah sakit nanti saya akan mendapat kamar, "Saya yang kasih surat rujukan, ibu tenang saja. Tapi mungkin harus menunggu ada kamar kosong. Sesuai prosedur rumah sakit, lah. Itu kan rumah sakit milik pemerintah, bukan milik ibu, ... jadi menunggu beberapa saat di UGD gak apa-apa kok." Ucap DSA meyakinkan.Â
Alhamdulillah, rujukan dari beliau bermanpaat sekali. Meski saya tidak mendapat ruang perawatan mandiri. Karena ternyata, si bungsu masuk ruang inkubator bersama beberapa bayi dengan kondisi sama, yaitu kuning. Saya diijinkan untuk istirahat di rumah, agar lebih cepat memulihkan kondisi. Pihak keluarga bergantian menunggu di rumah sakit, tidur di selasar atau lorong.Â
Saya datang ke rumah sakit, hanya untuk memberikan ASI saja, itu pun dengan cara dipompa dan dimasukan ke dalam botol steril, tidak secara langsung diberikan pada bayi. Lima hari, si bungsu diinkubator, kondisinya terus membaik, kadar bilirubinnya sudah normal. DSA memperbolehkan kami pulang.Â