Mohon tunggu...
Isur Suryati
Isur Suryati Mohon Tunggu... Guru - Menulis adalah mental healing terbaik

Mengajar di SMPN 1 Sumedang, tertarik dengan dunia kepenulisan. Ibu dari tiga anak. Menerbitkan kumpulan cerita pendek berbahasa Sunda berjudul 'Mushap Beureum Ati' (Mushap Merah Hati) pada tahun 2021. Selalu bahagia, bugar dan berkelimpahan rejeki. Itulah motto rasa syukur saya setiap hari.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Trauma dengan Salah Satu Fasilitas Kesehatan, Apakah Ada Obatnya?

6 Februari 2022   12:44 Diperbarui: 6 Februari 2022   12:51 573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketiga kalinya, saya kembali berurusan dengan fasilitas kesehatan sejuta umat ini. Saat Si tengah ada benjolan di leher. Pertama, saya kira gondongan. Kami membawanya ke dokter umum, diperiksa dan diberi obat. Namun, setelah tiga hari benjolan tersebut malah semakin membesar. Saya kembali pada dokter umum yang pertama kali kami kunjungi. Di sana, dokter tersebut menyarankan agar anak saya dirontgent hari itu juga. Lalu, hasilnya harus dibawa ke rumah sakit, menemui dokter spesialis bedah gigi dan mulut.

Nah, saya terkejut saat itu. Kaget dengan perkembangan penyakit si tengah, terus saya agak enggan juga untuk datang ke rumah sakit. Apalagi di masa pandemi. Harus antre dan berdesak-desakan. Namun, rasa sayang dan khawatir terhadap kesehatan anak, memaksa saya untuk menepis semua keengganan tersebut. Alhamdulillah, si tengah lumayan kooperatif dan mudah diarahkan. Dengan santainya dia mengikuti semua arahan dokter yang melakukan rontgen pada bagian leher dan gerahamnya. 

Keesokan harinya, saya antre di rumah sakit. Untuk memberikan hasil rontgent pada dokter bedah gigi dan mulut. Satu hari itu, suami dan saya bergantian menunggu antrian di rumah sakit. 

Pagi-pagi, saya sudah stand bye di rumah sakit, kebetulan memang sedang jadwal work from home. Sedangkan, suami sedang ada jadwal work from office. Jadi, dia yang bolak-balik dari kantor ke rumah sakit. Setelah menunggu begitu lama, hingga hampir saja saya menyerah. 

Akhirnya, pada pukul 3 sore, dokter memanggil saya dan si tengah. Saat membaca hasil rontgent, dokter mengatakan bahwa, anak saya terkena tumor submandibula. Dokter muda tersebut meminta saya untuk melakukan pemeriksaan ultra sonography (USG) agar penyakitnya kelihatan lebih jelas. Tanpa babibu lagi, hari itu juga saya membawa si tengah untuk di-USG. Tentu saja, dengan perasaan yang sukar untuk dilukiskan. Saya sudah kehilangan semua kesedihan. Saking karena, terlalu sedih, terlalu khawatir, dan terlalu-terlalu yang lainnya. 

Si tengah, mungkin sudah merasa, bahwa ada yang gawat pada kondisinya. Saat USG, dia meminta saya menemaninya. Ketika mesin USG mengenai bagian benjolan di lehernya, dia menangis. Saat itu, tangis saya pun pecah. Saya sudah tidak ingat lagi akan rasa malu. Bahkan dokter petugas USG mengatakan, "Tenang saja, Bu ... bisa disembuhkan, kok." 

Keesokan harinya, saya antre lagi di rumah sakit. Kali ini, tidak terlalu lama. Pukul 12, dokter sudah memanggil saya. Kali ini, si tengah sengaja tidak saya bawa, kasihan. Karena, USG kemarin mentalnya nampak agak tertekan. Saya biarkan dia bermain dengan teman-temannya. Agar sedikit dapat melupakan penyakitnya. Saat di ruangan, dokter menyarankan agar secepatnya, anak saya dioperasi di rumah sakit Hasan Sadikin, di Bandung. 

Dokter kembali membuat mental saya down. Beliau mengatakan, operasi ini hasilnya 50:50. Artinya, 50 persen sukses dan 50 persen gagal. Karena tumor ini berada di antara kelenjar air ludah. Posisinya sangat rumit dan berkaitan dengan saraf-saraf kecil pada tubuh. Jika, terlambat dioperasi, maka tumor akan semakin menyebar ke seluruh tubuh. Dampaknya, akan semakin susah untuk diobati dan sukar dikendalikan. 

Jika operasi, saya juga harus siap menerima ketika nantinya anak saya akan lumpuh. Mendengar hal tersebut, dunia terasa seakan runtuh. Setiap melihat benjolan di leher si tengah tersebut, saya merasa hancur. 

Setelah bermusyawarah dengan suami, saya memutuskan akan mencari second opinion dari DSA langganan. Alhamdulillah, beliau memberikan setitik harapan. Si tengah disuntik imunisasi, entah saya lupa lagi nama imunisasinya. Lalu diberi obat sangat banyak. Obat itu harus habis dalam dua minggu. Setelah itu, saya diminta konsul lagi. Jika benjolannya sudah mengecil. Langkah operasi tetap harus dilakukan, untuk membuang sel-sel tumor yang menempel di kelenjar ludah tersebut. 

Alhamdulillah, si tengah sekarang sudah sembuh, benjolannya kempes. Ternyata, tidak harus operasi dan hanya bisul biasa bukan tumor submandibula. Karena, setelah empat minggu, benjolan itu membesar, kemudian memerah, lalu bernanah, dan kemudian ambyar pecah. Setelah itu, kering sendiri dan mengempes sendiri. Saya tidak tahu, apakah diagnosa yang keliru. Tapi, saya sangat bersyukur, Allah masih memberikan kesembuhan pada anak saya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun