Namun, Ghozali telah menangkap peluang emas tersebut dengan baik. Ia berhasil mengkolaborasikan antara kecerdasan IT yang dimiliki dengan kecerdasan finansial.Â
Padahal, sebagai anak muda, jika ia tidak visioner. Bisa saja Ghozali membagikan hasil swafoto-nya tersebut di media sosial, umpama facebook, instagram, dan twitter.Â
Tentu saja, yang akan ia dapat hanya beberapa like, komentar, dan perundungan. Karena, ia akan dianggap manusia kurang kerjaan. Membagikan foto wajah sendiri untuk dikonsumsi publik.
Ketiga, Konsisten dan pantang menyerah. Hal yang membuat saya berdecak kagum adalah Ghozali mampu konsisten dalam menghasilkan karya. Itu yang tidak semua orang dapat melakukannya.Â
Berbahan ide sederhana, yakni swa foto wajah setiap hari. Sebenarnya agak terlihat konyol, ya. Tapi, Ghozali tidak pantang menyerah, ia mampu bertahan dari tekanan sosial dan terus kerja keras.
Saya kira, pasti ada teman-teman, keluarga, dan orang-orang di sekitar Ghozali yang memberikan komentar tidak sedap dan menjatuhkan terkait aktivitas Ghozali saat itu. Karena, ya itu tadi. Sebagai orang awam, kita akan menganggap hal yang dilakukan Ghozali tidak bermanfaat dan sia-sia.Â
Namun, ternyata Ghozali mampu membuktikan bahwa dirinya adalah jiwa yang konsisten dan mampu bertahan dari tekanan. Sebuah sikap yang menurut para ahli bukan karakteristik generasi z.
Satu kata untuk Ghozali Everyday : Lanjutkan!
Sebagai generasi milenial yang lahir di tahun 80-an, saya berharap akan terus bermunculan Ghozali-Ghozali lainnya dalam berbagai hal bersifat digital yang bermanfaat.Â
Biasanya, munculnya sebuah fenomena akan diikuti oleh fenomena-fenomena baru berikutnya. So, satu kata untuk Ghozali Everyday : Lanjutkan! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H