Ketika di sekolah, guru selalu berpesan untuk selalu mengutamakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi dengan masyarakat dari beragam suku yang ada di Indonesia.
Semua masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke mendapatkan edukasi yang sama tentang bahasa Indonesia. Tentu saja dengan buku sumber yang sama, buku EYD yang sama. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi salah paham dan miskomunikasi antar masyarakat yang berasal dari berbagai suku tersebut.Â
Nah, dengan adanya fenomena 'bahasa anak Jaksel' tersebut akan menghambat terciptanya kultur baik, yang selama ini digembor-gemborkan.
Cara bijak menyikapi dampak negatif yang timbul
Munculnya fenomena baru dengan segala dampak dan permasalahan yang ditimbulkannya. Menuntut kita untuk dapat bersikap secara tepat, bijak, dan solutif. Berikut adalah cara bijak menyikapi fenomena 'bahasa anak Jaksel'.
Pertama, anggap ini adalah hal yang biasa dalam perkembangan sebuah bahasa.Â
Fenomena bahasa anak Jaksel adalah hal yang wajar dan normal. Sudah saya sebutkan di atas bahwa perubahan pada bahasa adalah karena sifat bahasa itu sendiri.Â
Bahasa bersifat dinamis, berkembang sejalan dengan perkembangan manusia sebagai penutur bahasa tersebut.
So, kita bereaksi secara biasa saja. Jangan terlalu reaktif. Karena, hal tersebut akan mengakibatkan rasa traumatik dan keengganan para penutur bahasa anak Jaksel untuk berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia. Nanti mereka berbicara 100 persen dengan bahasa asing, bagaimana?
Kedua, yakini bahwa sebuah fenomena dalam bahasa bersifat sementara.
Sebuah gejala berbahasa baik itu campur kode maupun alih kode. Biasanya timbul karena perbedaan bahasa yang dikuasai oleh komunikan dan komunikator. Sehingga agar komunikasi tetap berjalan dengan baik. Mengharuskan mereka untuk melakukan alih kode atau campur kode. Yakini bahwa hal ini hanya bersifat sementara.